“Mahkamah Agung Indonesia membatalkan vonis terhadap RS, mengungkap ketidakadilan dalam kasus narkotika yang menimbulkan pertanyaan tentang integritas penegakan hukum di Indonesia.”
Dalam sebuah keputusan penting baru-baru ini, Mahkamah Agung Indonesia membatalkan vonis terhadap RS, seorang pria yang sebelumnya dijatuhi hukuman penjara panjang atas tuduhan kepemilikan narkotika. Kasus ini, yang telah menarik perhatian publik secara luas, mengungkapkan kekurangan mendalam dalam proses peradilan, menimbulkan pertanyaan kritis tentang keadilan dan integritas penegakan hukum di Indonesia.
Vonis Awal
RS, seorang sales berusia 41 tahun dari Tuban, ditangkap pada Agustus 2011 di tempat tinggalnya di Surabaya. Polisi mengklaim bahwa mereka menemukan 0,2 gram sabu-sabu dalam penggerebekan tersebut. Namun, keadaan seputar penggerebekan ini penuh kontroversi. Menurut RS, ia dijebak oleh seorang wanita bernama Susi, yang saat itu berada di lokasi penangkapan tetapi secara tidak jelas diizinkan pergi oleh polisi tanpa diperiksa lebih lanjut.
Meskipun RS terus menerus menyatakan dirinya tidak bersalah, ia tetap divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya, yang menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan denda besar. Keputusan pengadilan tersebut didasarkan terutama pada kesaksian polisi yang terlibat dalam penggerebekan, tanpa adanya saksi independen yang dapat menguatkan.
Proses yang Cacat
Kasus ini mengambil arah yang dramatis ketika RS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam permohonannya, tim pembela RS menunjukkan beberapa ketidakkonsistenan dan kesalahan hukum dalam persidangan awal. Mereka berargumen bahwa polisi tidak mengikuti prosedur yang benar selama penggerebekan, seperti melibatkan saksi lokal dan melakukan tes urine yang wajib. Kelalaian ini, menurut mereka, menunjukkan kemungkinan adanya jebakan oleh polisi, sebuah kecurigaan yang semakin kuat dengan hilangnya saksi kunci, Susi.
Pembelaan juga menekankan bahwa barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian tidak pernah secara meyakinkan dikaitkan dengan RS. Mereka berargumen bahwa kegagalan polisi untuk mendapatkan bukti objektif, seperti tes urine, merusak kredibilitas dakwaan terhadapnya.
Keputusan Mahkamah Agung
Setelah mempertimbangkan dengan cermat, Mahkamah Agung menemukan bahwa permohonan kasasi tersebut memiliki dasar yang kuat. Dalam sebuah keputusan yang dapat menjadi preseden untuk kasus-kasus serupa di masa depan, pengadilan memutuskan bahwa pengadilan yang lebih rendah telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian dan menilai bukti secara akurat.
Pertimbangan utama yang dikemukakan oleh Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
- RS didakwa atas pelanggaran tunggal, yaitu melanggar Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
- Kesaksian polisi yang menangkap dan menggeledah RS seragam dan tidak didukung oleh saksi-saksi independen yang netral, seperti Ketua RT atau RW, sehingga kesaksian mereka dianggap belum cukup kuat tanpa bukti tambahan.
- RS menyangkal dan mencabut keterangannya dalam Berita Acara Penyidikan, dengan alasan ia dipaksa dan ditekan untuk mengakui bahwa sabu-sabu tersebut miliknya.
- Meskipun saksi verbalisan, Sukamto dan Suroyo, menyatakan bahwa tidak ada paksaan yang dilakukan, Mahkamah Agung menerima penyangkalan RS karena didukung oleh keterangan saksi-saksi lain yang menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses penangkapan dan penggeledahan.
- Kejanggalan lain yang mencurigakan adalah bahwa dalam penggerebekan tersebut, seorang perempuan bernama Susi yang berada di tempat kejadian dibiarkan pergi begitu saja oleh polisi tanpa dimintai keterangan.
- Argumen bahwa kehadiran Susi dan penggerebekan yang segera menyusul menunjukkan adanya kemungkinan rekayasa oleh polisi untuk menjebak RS.
Mahkamah Agung juga mencatat bahwa tidak ada pemeriksaan urine yang dilakukan terhadap RS untuk memperkuat bukti bahwa ia adalah pengguna narkotika. Akibat dari kegagalan ini, dakwaan terhadap RS dianggap tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa ia bersalah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa vonis yang dijatuhkan kepada RS tidak berdasar dan memerintahkan pembebasan segera. Selain membatalkan vonis, Mahkamah Agung juga memerintahkan pengembalian harta pribadi RS dan pemulihan hak-hak sipilnya, menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam proses hukum.
Pendapat Mahkamah Agung pada Putusan No No. 1614 K /Pid.Sus/2012
“Bahwa Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan tunggal, yaitu melanggar Pasal 112 ayat (1) UU NO. 35 Tahun 2009;
Bahwa saksi-saksi Polisi yang menangkap dan menggeledah Terdakwa, keterangannya seragam dan tidak didukung oleh keterangan saksi-saksi (dari luar/bukan petugas) yang netral dan obyektif, seperti Ketua RT, RW, dsb, maka keterangan para saksi Polisi tersebut tidak dinilai sebagai kesaksian yang berdiri sendiri, sehingga masih diperlukan alat bukti lain;
Bahwa Terdakwa di persidangan menyangkal dan mencabut keterangannya di Berita Acara Penyidikan, karena ia mendapat tekanan dan paksaan untuk mengakui kalau shabu-shabu itu adalah miliknya;
Bahwa meskipun pemeriksa (Verbalisan), yaitu saksi Sukamto dan Suroyo sudah didengar keterangannya di persidangan bahwa mereka tidak ada melakukan pemaksaaan terhadap Terdakwa, namun penyangkalan Terdakwa dapat diterima dan dibenarkan, karena didukung dengan keterangan saksi ade charge Mutmainah dan saksi Rudi, yang menerangkan bahwa Terdakwa tidak pernah mempunyai dan membawa teman perempuan yang datang ke kamar kost Terdakwa kecuali pada malam saat Terdakwa ditangkap petugas, para saksi melihat ada seorang perempuan yang saksi-saksi tidak kenal, ketika petugas masuk ke rumah kost Terdakwa, perempuan tersebut langsung keluar. Pada saat itu para saksi diberitahu oleh Terdakwa bahwa dirinya dijebak oleh perempuan yang baru keluar dari kamar kost Terdakwa tersebut;
Bahwa adalah tidak mungkin ketika melakukan penggerebekan dalam suatu rumah dalam rangka penangkapan seseorang yang dilakukan oleh suatu Tim Kepolisian, kemudian ada orang lain yang keluar dari tempat tersebut tapi tidak ditangkap oleh petugas Polisi untuk diminta keterangan tentang suatu peristiwa yang akan diungkap, yang in casu perempuan yang bernama Susi tersebut dibiarkan pergi keluar dari dan meninggalkan tempat tersebut begitu saja dengan melewati 4 (empat) orang Polisi yang sedang melakukan penggerebekan;
Bahwa argumentasi Terdakwa tentang perempuan bernama Susi yang datang dan kemudian masuk ke kamar mandi dengan alasan buang air, dan sesaat kemudian kamar kost Terdakwa tersebut langsung di gerebek oleh 4 (empat) orang Polisi, menjadi dapat dibenarkan adalah suatu rekayasa Penyidik Polisi untuk menjebak Terdakwa dalam peristiwa tersebut;
Bahwa keterangan saksi ade charge Mutmainah menjadi relevan dengan argumentasi Terdakwa, bahwa saksi Mutmainah yang sehari-hari bertugas membersihkan kamar kost Terdakwa yang mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada tamu perempuan yang datang atau dibawa ke tempat kost Terdakwa, sehingga kedatangan tamu perempuan yang kemudian segera diikuti oleh penggerebekan oleh Polisi, adalah suatu peristiwa rekayasa dari Polisi Penyidik;
Bahwa dalam penggerebekan in casu, tidak ada saksi lain yang menyaksikan penemuan barang bukti selain dari saksi Polisi yang melakukan penggerebekan, karenanya kesaksian tersebut harus dianggap belum cukup;
Bahwa ternyata tidak dilakukan pemeriksaan urine kepada Terdakwa untuk dapat memperkuat penemuan alat bukti oleh Polisi Penyidik apakah Terdakwa sebagai sekedar yang menyimpan barang bukti, sesuai dakwaan yang ada hubungannya dengan Terdakwa sebagai penyalahguna Narkotika untuk diri sendiri, karenanya Dakwaan jaksa / penuntut Umum tidak cukup bukti atas Terdakwa dalam kasus in casu.
Bahwa karena keterangan saksi-saksi Polisi tersebut tidak didukung oleh alat bukti yang lain, maka tidak cukup bukti untuk menyatakan Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya”
Implikasi untuk Masa Depan
Kasus ini menegaskan pentingnya proses hukum yang adil dalam sistem peradilan Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting tentang peran penegak hukum dan perlunya reformasi untuk mencegah terjadinya ketidakadilan serupa di masa depan. Di tengah kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang masih rapuh, putusan Mahkamah Agung ini menawarkan secercah harapan bahwa keadilan masih dapat ditegakkan, bahkan dalam situasi yang paling menantang sekalipun.
Seiring dengan upaya Indonesia untuk menghadapi isu-isu korupsi dan reformasi hukum, kasus RS mungkin menjadi katalis untuk perubahan, mendorong pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik-praktik kepolisian dan proses peradilan. Implikasi dari keputusan ini dapat beresonansi jauh melampaui ruang sidang, berpotensi mempengaruhi kasus-kasus di masa depan dan membentuk masa depan keadilan di Indonesia.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)