Keberanian Seorang Pengacara dan Pertempuran Hukum: Kasus Yap Thiam Hien

“Kasus Yap Thiam Hien, pengacara yang berani menantang integritas pejabat tinggi dalam sidang terbuka, menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi pembela dalam sistem peradilan.”

Dalam dunia hukum yang sering kali terasa kaku dan terbatas oleh formalitas, kisah Yap Thiam Hien menonjol sebagai epik keberanian dan keadilan. Peristiwa yang berlangsung pada 23 Desember 1967, mengungkapkan sebuah drama hukum yang tidak hanya menguji batas-batas hukum tetapi juga integritas personal.

Kontroversi di Ruang Sidang

Yap Thiam Hien, seorang pengacara dengan reputasi dan pengalaman yang baik, terlibat dalam pembelaan kliennya, Tian Hong Liang, yang berhadapan dengan tuduhan serius. Dalam prosesnya, Yap mengemukakan tuduhan serius terhadap dua pejabat tinggi, B.R.M. Simanjuntak dan Irjen Pol. Drs. Mardjaman. Di hadapan pengadilan dan publik, Yap menuduh mereka terlibat dalam pemerasan, sebuah pernyataan yang jika tidak didukung oleh bukti kuat, bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik.

Tuduhan dan Konsekuensi

Pernyataan Yap ini bukan tanpa konsekuensi. Ia kemudian dihadapkan pada proses hukum pidana sendiri, di mana jaksa mendakwanya dengan pasal pencemaran nama baik (Pasal 311 dan Pasal 310 ayat (1) KUHP). Awalnya dihukum satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri, kasus ini melalui serangkaian banding hingga akhirnya dibawa ke Mahkamah Agung.

Pembelaan dan Pembuktian di Mahkamah Agung

Mahkamah Agung, dalam putusannya, membatalkan kedua putusan sebelumnya dan membebaskan Yap dari semua tuntutan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa pernyataan Yap adalah bagian dari hak pembelaan yang sah dan tidak melampaui batas yang diperbolehkan.

Keputusan ini didasarkan pada prinsip bahwa pembela berhak, bahkan berkewajiban, untuk membela kliennya dengan segala daya dan upaya yang diperlukan, termasuk mengemukakan pernyataan yang mungkin dianggap menyinggung, asalkan pernyataan tersebut benar dan tidak berlebihan.

Pendapat Mahkamah Agung memperjelas bahwa dalam konteks pembelaan diri, seorang pengacara memiliki hak yang sama dengan terdakwa yang dibelanya. Pemakaian kata-kata oleh Yap, dalam konteks ini, dianggap sebagai pengucapan juridis yang diperlukan untuk pembelaan kliennya, dan oleh karena itu, tidak dapat dianggap melampaui batas.

Kaidah Hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 109 K/Kr/1970

“bahwa bukankah pasal 310(3) Kitab Undang-Undang Hukum.Pidana hanya mempergunakan istilah “noodzakelifke verdediging” saja, yang berarti, bahwa pembuat Undang-Undang tiduk bermaksud untuk membatasi hal tersebut pada terdakwa saja untuk melakukan “pembelaan terpaksa ” itu, melainkan, bahwa dalam rangka pembelaan diri ini, hak pembela adalah sama dengan hak terdakwa yang dibelanya karena seorang Terdakwa yang mengambil seorang pembela harus dianggap melimpahkan hak-haknya kepada pembelanya

bahwa berdasarkan pelimpahan tersebut diatas, untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, seorang pembela berhak, bahkan berkewajiban, apabila penunaian tugas tersebut memerlukan, untuk dengan segala daya-upaya, terutama dengan kata-kata, membela kepentingan orang yang dibelanya di forum Pengadilan, dengan antara lain merumuskan perbuatan-perbuatan saksi menurut hukum, meskipun perumusan -tersebut mungkin dirasakan sebagai penghinaan oleh yang bersangkutan, asal tuduhan-tuduhan benar, setidak-tidaknya sepantasnya harus dianggap benar dan tidak dikemukakan secara berkelebih-lebihan;

bahwa Mahkamah Agung tidak melihat suatu berkelebih-lebihan, mengingat bahwa apa yang dikemukakan oleh pemohon kasasi adalah dalam rangka “membela diri” (membela orang yang dibelanya) yang diperlukan untuk menghindarkan diri (terdakwa yang dibelanya) dari suatu penghukuman

bahwa perkataan-perkataan yang diucapkan oleh Terdakwa sebagaimana dituduhkan kepadanya terutama kata-kata pemerasan telah dikemukakan oleh terdakwa sebagai pembela dalam pemeriksaan perkara Tian Hong Liang oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta sewaktu  mengucapkan pembelaannya/pledooinya adalah dalam usahanya menyingkap fakta – fakta yang dapat membebaskan orang yang dibelanya dari tuduhan – tuduhan, yang diajukan terhadapnya dengan maksud untuk merumuskan menurut hukum perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang saksi, agar Hakim dapat menilai segala sesuatu dalam proposi yang sebenarnya, terlepas dari kedudukan sosial saksi tersebut, satu dan lain dalam rangka pembelaan diri yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (3) KUHPidana

Bahwa pemakaian kata-kata tersebut oleh terdakwa, karenanya harus dianggap tidak lain daripada suatu pengucapan juridis mengenai fakta-fakta yang dikemukakan oleh terdakwa tersebut dan yang oleh Pengadilan Tinggi telah dianggap terbukti”

Pelajaran dari Kasus Yap Thiam Hien

Kasus Yap Thiam Hien mengajarkan beberapa pelajaran penting: pentingnya pembelaan hukum yang kuat, keberanian dalam menyuarakan kebenaran, dan pentingnya perlindungan hukum untuk pembela dalam menjalankan tugasnya. Ini juga menegaskan bahwa keadilan, meskipun mungkin memerlukan waktu dan banyak tantangan, pada akhirnya, harus ditegakkan di pengadilan.

Di tengah era di mana integritas sering kali diuji, kisah Yap Thiam Hien tetap relevan sebagai simbol perjuangan untuk keadilan dan keberanian untuk berbicara melawan ketidakadilan, tidak peduli seberapa tinggi risikonya. Kisah ini bukan hanya tentang seorang pengacara yang memenangkan kasusnya, tetapi tentang mempertahankan prinsip-prinsip keadilan dalam sistem hukum.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading