Revenge Porn: Ancaman Kesusilaan di Era Digital dan Terobosan Hukum di Pengadilan

Revenge porn, atau penyebaran konten pribadi tanpa izin dengan tujuan membalas dendam, merupakan salah satu bentuk kejahatan digital yang meresahkan. Kasus yang terjadi di Pandeglang, Banten, tidak hanya menyoroti kejahatan ini tetapi juga membuka diskusi mengenai terobosan hukum baru yang diambil oleh majelis hakim. Terdakwa dalam kasus ini, dihukum tidak hanya dengan pidana penjara dan denda, tetapi juga dengan pencabutan hak menggunakan internet selama delapan tahun. Putusan ini menjadi sorotan karena memberikan pesan tegas tentang bahaya kejahatan siber yang merusak privasi.

Revenge Porn: Balas Dendam yang Menghancurkan Privasi

Revenge porn adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis teknologi yang memanfaatkan konten seksual atau intim untuk merusak reputasi atau menghancurkan privasi seseorang. Dalam kasus ini, seorang Terdakwa, sebut saja Namanya Anon, berkenalan dengan korban, IS, pada tahun 2015 saat masih duduk di bangku SMP. Hubungan mereka berlanjut hingga masa kuliah, namun berakhir dengan ancaman dan kekerasan psikologis ketika terdakwa menggunakan video pribadi mereka sebagai alat balas dendam.

Peristiwa ini berawal pada tahun 2021 ketika IS mengunjungi Anon untuk mencurahkan kesedihannya setelah kehilangan orang tua. Keduanya mabuk setelah meminum anggur merah yang dibeli atas permintaan IS. Dalam kondisi tersebut, mereka berhubungan intim, dan tanpa sepengetahuan IS, Anon merekam kegiatan mereka dengan menggunakan ponselnya. Rekaman inilah yang kemudian menjadi alat bagi Anon untuk mengancam IS setiap kali hubungan mereka menghadapi konflik.

Penyebaran Video Intim dan Dampaknya

Setelah berkali-kali bertengkar dan IS berulang kali meminta putus, Anon menggunakan video tersebut untuk mengancam korban agar tetap bersamanya. Puncaknya terjadi pada tahun 2022, ketika Anon mengirim video intim mereka kepada teman-teman IS melalui pesan Instagram. Penyebaran video ini kemudian menjadi viral di media sosial, yang menambah tekanan psikologis dan sosial bagi IS.

Kasus ini menjadi viral dan menuai perhatian publik karena menyangkut privasi dan kesusilaan di dunia digital. IS, sebagai korban, harus menghadapi stigma sosial yang menyertainya, di samping trauma psikologis yang mendalam akibat ancaman dan penyebaran video tersebut.

Pidana Tambahan: Terobosan Hukum Pencabutan Hak Akses Internet

Dalam putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Pandeglang, terdakwa tidak hanya dijatuhi hukuman penjara selama enam tahun dan denda sebesar satu miliar rupiah, tetapi juga pidana tambahan yang mengejutkan. “Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak kegiatan atau memanfaatkan internet selama 8 tahun yang berlaku sejak keputusan ini dibacakan,”. Putusan ini menjadi sorotan karena merupakan terobosan hukum yang tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Majelis hakim dalam putusan ini mengambil langkah inovatif dengan menggunakan kewenangan yang mereka miliki untuk mencabut hak terdakwa dalam memanfaatkan internet. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk memberikan efek jera kepada terdakwa dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa depan. Selain itu, pencabutan hak menggunakan internet selama delapan tahun juga tidak termasuk dalam dakwaan atau tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yang menambah signifikansi dari putusan ini.

Pendapat Pengadilan dalam Putusan PN Pandeglang No 71/Pid.Sus/2023/PN Pdl

Bahwa dalam konteks pembuatannya, dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video atau aktivitas seksual mereka dan pengambilan gambar pornografi serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri, maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” yang dilarang oleh hukum. Tetapi, lain halnya jika pria atau wanita melakukan pengambilan gambar pornografi atau perekaman aktivitas seksual mereka tanpa diketahui oleh pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video pornografi tersebut melanggar hukum. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak

Bahwa hal yang berbeda adalah dalam konteks penyebarannya, dimana dalam konteks ini, sama sekali tidak dibutuhkan adanya persetujuan atau kesepakatan, baik dari salah satu maupun oleh keduanya untuk menilai telah adanya tindak pidana menyebarluaskan muatan yang melanggar kesusilaan. Apapun bentuknya dan siapapun pelakunya, serta didasarkan pada persetujuan atau tidak adanya persetujuan sekalipun, penyebaran konten bermuatan melanggar kesusilaan adalah terlarang dan pelakunya dapat dikenakan pidana. Ada tidaknya persetujuan korban hanya menentukan apakah posisi seseorang adalah pelaku ataukah hanya korban belaka. Jika pihak yang direkam atau diambil gambar aktivitas seksualnya itu mengizinkan penyebarluasan, maka ia juga dapat ditarik sebagai pelaku tindak pidana penyebarluasan, dan sebaliknya jika ia tidak mengizinkan, maka kedudukannya adalah sebagai korban tindak pidana

“…dengan berpedoman kepada ketentuan Pasal 10 huruf b KUHPidana tersebut melalui putusan ini perlu melahirkan hukum (judge made law) dengan memperluas bentuk penjatuhan hukuman tambahan dalam Pasal 35 KUHPidana berupa pencabutan hak untuk mempergunakan atau memanfaatkan perangkat komunikasi elektronik berbasis internet selama waktu tertentu sebagaimana termuat dan akan disebutkan di dalam amar putusan ini, dan mulai berlaku pada hari putusan hakum dapat dijalankan sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (2) KUHPidana…”

Dampak Psikologis pada Korban

Kasus revenge porn seperti ini sering kali membawa dampak psikologis yang luar biasa pada korban. IS, korban dalam kasus ini, mengalami tekanan emosional yang mendalam akibat penyebaran video tersebut. Berdasarkan laporan konseling psikologis yang diajukan di persidangan, IS mengalami gangguan kecemasan menyeluruh dan stres pasca-trauma (PTSD). Rasa malu, ketakutan, dan depresi menghantui IS, terutama karena video tersebut telah menyebar di lingkaran sosialnya, termasuk di antara keluarga dan teman-temannya.

Trauma psikologis yang dialami korban revenge porn tidak hanya terkait dengan pelanggaran privasi, tetapi juga berkaitan dengan tekanan sosial yang disebabkan oleh penyebaran informasi intim yang seharusnya bersifat pribadi.

Pentingnya Kesadaran Hukum dan Etika dalam Penggunaan Teknologi

Kasus ini menjadi pengingat bahwa teknologi yang kita gunakan sehari-hari dapat menjadi alat yang berbahaya jika disalahgunakan. Kemajuan teknologi informasi memang memberikan banyak manfaat, namun juga menimbulkan tantangan baru dalam hal keamanan privasi dan etika digital. Penyebaran konten pribadi tanpa izin, seperti dalam kasus revenge porn, adalah pelanggaran serius yang dapat merusak kehidupan korban secara fisik dan mental.

Dengan adanya terobosan hukum dalam putusan ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga etika dalam penggunaan teknologi, serta memahami bahwa setiap pelanggaran privasi melalui media digital dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius.

Kesimpulan: Menegakkan Keadilan dan Melindungi Korban

Putusan Pengadilan Negeri Pandeglang yang menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak menggunakan internet selama delapan tahun menjadi titik balik dalam penanganan kasus revenge porn di Indonesia. Langkah ini merupakan bentuk terobosan hukum yang memberikan perlindungan lebih besar terhadap korban dan sekaligus memberikan efek jera kepada pelaku.

Kasus ini mengingatkan kita bahwa revenge porn adalah bentuk kejahatan digital yang memiliki dampak psikologis, sosial, dan hukum yang sangat serius. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk melindungi privasi individu dan mencegah penyalahgunaan teknologi di era digital.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading