Ketika Cathlab Jadi Sarana Menggerogoti Keuangan Negara

“Kasus korupsi Cathlab di Sumatera Barat menunjukkan betapa korupsi masih merajalela di sektor kesehatan. Mahkamah Agung mengadili dan menjatuhkan hukuman pada para pelaku yang merugikan negara hingga Rp15,541 miliar.”

Dalam sebuah putusan yang mengguncang publik, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengadili kasus korupsi yang melibatkan pengadaan Cathlab di sebuah RS Nasional di Sumatera Barat. Putusan Mahkamah Agung ini mengungkap modus operandi dan kronologi yang memperlihatkan betapa korupsi masih merajalela di negeri ini, bahkan dalam sektor kesehatan yang seharusnya steril dari praktik-praktik kotor.

Kronologi Kasus

Seorang pengusaha yang menjabat sebagai Direktur sebuah korporasi bersama-sama dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Ketua Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) terlibat dalam kasus korupsi terkait pengadaan Cathlab di RSSN Bukittinggi. Pengadaan ini dibiayai oleh APBN Tahun Anggaran 2012 dengan nilai kontrak sebesar Rp16,805 miliar.

Modus operandi yang digunakan cukup sederhana namun efektif. Proses lelang yang seharusnya kompetitif ternyata hanya menjadi formalitas belaka. Korporasi itu ditunjuk sebagai penyedia barang/jasa tanpa ada proses seleksi yang ketat. Lebih parahnya lagi, barang yang diserahkan tidak sesuai spesifikasi dan belum selesai 100%, namun pembayaran tetap dilakukan seolah-olah pekerjaan telah selesai sempurna.

Manipulasi Dokumen dan Penerimaan Barang

Pada tanggal 12 Desember 2012, Sang Direktur menyerahkan barang berupa Cathlab Biplane (Artis Zee/Siemens) dan beberapa peralatan lainnya kepada Ketua PPHP. Namun, kenyataannya, banyak dari barang tersebut yang tidak memenuhi standar dan spesifikasi yang telah ditetapkan. Misalnya, Cathlab yang seharusnya sudah berfungsi penuh ternyata masih memerlukan banyak perbaikan dan penyesuaian.

Ketua PPHP, yang seharusnya melakukan pengecekan dan memastikan barang sesuai kontrak, malah menandatangani Berita Acara Penerimaan/Pemeriksaan Barang dan Jasa dengan perincian yang dimanipulasi. Hasilnya, Berita Acara tersebut digunakan untuk mengajukan pembayaran tahap kedua dan ketiga sebesar total Rp12,18 miliar. Padahal, pekerjaan belum selesai sepenuhnya.

Peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

PPKnya sendiri memiliki peran penting dalam meloloskan pembayaran yang tidak semestinya. Tanpa adanya laporan kemajuan pekerjaan yang valid dan hanya berdasarkan dokumen yang direkayasa, ia menyetujui pencairan dana kepada perusahaan tersebut. Bahkan, ketika waktu penyelesaian pekerjaan hampir habis, pembayaran tetap dilakukan meski alat belum siap digunakan.

Kerugian Negara dan Hukuman

Perbuatan para terdakwa tidak hanya merugikan keuangan negara sebesar Rp15,541 miliar, tetapi juga menodai integritas sektor kesehatan yang vital bagi masyarakat. Mahkamah Agung, dalam putusannya, menjatuhkan hukuman kepada pengusaha tersebut dan rekan-rekannya dengan dakwaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf a dan huruf b, Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001.

Pertimbangan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung menyatakan bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum dapat dibenarkan karena Judex Facti salah menerapkan hukum dalam menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Adapun pertimbangan penting Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

  • Kesalahan Penerapan Pasal oleh Judex Facti: Fakta yang terungkap di persidangan menunjukkan bahwa Terdakwa seharusnya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
  • Pelaksanaan Proyek Tidak Sesuai: Terdakwa mencairkan dan menerima dana proyek 100%, padahal pekerjaan belum selesai 100%.
  • Penyerahan Hasil Pekerjaan yang Tidak Sesuai Kontrak: Terdakwa menyerahkan hasil pekerjaan kepada PPHP yang tidak sesuai dengan perjanjian kontrak yang ditandatangani.
  • Barang-Barang Pengadaan yang Belum Diselesaikan: Ada pekerjaan yang belum selesai dengan nilai Rp512.168.279,00 yang seharusnya diselesaikan sesuai batas waktu kontrak.
  • Kesalahan dalam Menandatangani Dokumen: Terdakwa menandatangani surat/dokumen yang menyatakan pekerjaan selesai 100% padahal kenyataannya belum selesai.
  • Addendum Perpanjangan Waktu: Terdakwa mengajukan addendum perpanjangan waktu penyelesaian pekerjaan selama 50 hari tanpa dikenakan denda/pinalti.
  • Pengujian yang Belum Dilakukan: Hasil pekerjaan belum pernah diuji sehingga belum dapat difungsikan.
  • Penyerahan Barang Tahap III: Pemeriksaan ruang Cathlab dan instalasi ternyata tidak layak untuk digunakan.
  • Pelanggaran Ketentuan Pembayaran Proyek: Pembayaran proyek tidak boleh dilakukan sebelum barang diterima, dan dana yang tidak bisa dicairkan seharusnya dikembalikan ke kas negara.

Pendapat Mahkamah Agung dalam Perkara nomor 363 K/PID.SUS/2016

“Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menegaskan bahwa pembayaran proyek tidak boleh dilakukan sebelum barang diterima. Proyek yang secara fisik belum dapat diselesaikan pada tahun yang bersangkutan atau belum dapat dicairkan per 31 Desember tahun berjalan maka dana proyek tersebut tidak dapat dicairkan dengan cara melanggar hukum, melainkan harus dikembalikan ke kas negara/daerah.

Terdapat pengecualian terhadap hal tersebut apabila berkaitan dengan tujuan keadilan dan kemanfaatan serta kepentingan masyarakat terhadap pembangunan dengan syarat telah dilakukan addendum/perpanjangan waktu, penerapan denda/pinalti dan terdapat keadaan yang memaksa/emergency sehingga pekerjaan tersebut tidak bisa diselesaikan oleh pihak kontraktor/penyedia barang/jasa.”

Kesimpulan

Kasus ini menjadi cerminan betapa korupsi masih menjadi momok yang menakutkan bagi pembangunan di Indonesia. Perlu adanya pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan bahwa dana publik digunakan sebagaimana mestinya. Hanya dengan demikian, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara dapat dipulihkan. Sektor kesehatan, yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, harus dilindungi dari tangan-tangan kotor yang ingin mengambil keuntungan pribadi dari penderitaan orang lain.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading