Memahami Kerugian Negara dalam Kasus Pertamina Hulu Energi

“Putusan MA terkait Pertamina Hulu Energi menyoroti bahwa kerugian anak perusahaan BUMN bukanlah kerugian negara, menekankan pentingnya manajemen risiko dan transparansi dalam investasi BUMN.”

Mahkamah Agung Indonesia telah mengeluarkan keputusan yang signifikan mengenai kasus Pertamina Hulu Energi. Putusan ini memberikan pencerahan baru mengenai definisi kerugian negara dan implikasinya bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana putusan ini mempengaruhi persepsi dan pengelolaan aset negara, khususnya oleh BUMN seperti PT Pertamina Hulu Energi.

Latar Belakang Kasus

Kasus ini berpusat pada investasi Pertamina Hulu Energi di proyek BMG Australia. Terdakwa dalam kasus ini adalah pejabat tinggi Pertamina yang diduga telah melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara melalui investasi tersebut. Pada tanggal 20 Agustus 2010, ROC Ltd selaku operator Blok BMG menghentikan produksi karena biaya penggantian suku cadang yang tinggi melebihi pendapatan dari produksi, sehingga dianggap tidak ekonomis lagi​​.

Kerugian Negara atau Penurunan Nilai Aset?

Salah satu poin krusial dalam putusan Mahkamah Agung adalah bahwa kerugian yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi tidak dikategorikan sebagai kerugian negara. Mahkamah menyatakan bahwa sebagai anak perusahaan PT Pertamina, Pertamina Hulu Energi tidak tunduk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN​​. Kerugian yang terjadi lebih tepat diklasifikasikan sebagai penurunan nilai aset (impairment) yang bersifat fluktuatif dalam pembukuan atau pencatatan sesuai standar akuntansi keuangan​​.

Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa keuangan anak perusahaan BUMN tidak termasuk keuangan negara sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-Pres/XVII/2019. Oleh karena itu, kerugian yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah kerugian keuangan negara​​. Ini berarti PT Pertamina Hulu Energi tidak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Izin dan Persetujuan Komisaris

Terdakwa dalam kasus ini telah menerima izin dan persetujuan bidding melalui Memorandum Dewan Komisaris tanggal 30 April 2019. Namun, sehari setelah penandatanganan Sale Purchase Agreement pada tanggal 27 Mei 2009 di Sydney, Dewan Komisaris menunjukkan sikap yang mendua​​. Ketidakkonsistenan ini menunjukkan perlunya kebijakan dan keputusan yang lebih tegas dan terarah dalam pengelolaan investasi.

Risiko Bisnis dalam Industri Migas

Mahkamah Agung juga mengakui bahwa industri minyak dan gas (migas) penuh dengan risiko. Tidak ada parameter yang pasti untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu eksplorasi, sehingga apa yang terjadi di Blok BMG Australia merupakan hal yang lumrah. Adagium “no risk, no business” sangat relevan dalam konteks ini​​.

Business Judgement Rule

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Terdakwa dan jajaran Direksi PT Pertamina semata-mata bertujuan untuk mengembangkan PT Pertamina dengan menambah cadangan migas. Mahkamah Agung menegaskan bahwa tindakan Terdakwa tidak keluar dari ranah Business Judgement Rule, yang ditandai dengan tiadanya unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja​​.

Pendapat Mahkamah Agung dalam Perkara No 121 K/Pid.Sus/2020

“Keuangan anak perusahaan BUMN tidak termasuk keuangan Negara sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-Pres/XVII/2019 sehingga kerugian yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah kerugian keuangan Negara oleh karena PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina tidak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN;

Apa yang dilakukan oleh Terdakwa dan jajaran Direksi PT Pertamina lainnya semata-mata dalam rangka mengembangkan PT Pertamina yakni berupaya menambah cadangan migas sehingga langkah-Iangkah yang dilakukan oleh Terdakwa selaku Direktur Utama PT Pertamina dan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi tidak keluar dari ranah Business Judgement Rule, ditandai tiadanya unsur kecurangan (freud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja”

Kesimpulan

Putusan Mahkamah Agung mengenai kasus Pertamina Hulu Energi memberikan wawasan penting tentang pengelolaan aset negara dan definisi kerugian negara. Ini menyoroti perlunya transparansi, konsistensi, dan manajemen risiko yang lebih baik dalam keputusan investasi BUMN. Bagi masyarakat, putusan ini juga menjadi refleksi tentang bagaimana keuangan negara harus dikelola dengan hati-hati, terutama dalam investasi besar yang melibatkan dana publik.

Dengan demikian, keputusan ini bukan hanya merupakan akhir dari satu kasus hukum, tetapi juga titik awal bagi reformasi dalam pengelolaan aset negara dan investasi oleh BUMN di Indonesia.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading