Putusan Pengadilan: Membebaskan Terdakwa dari Tuduhan Memelihara Satwa Dilindungi

“Putusan Pengadilan Negeri Denpasar membebaskan terdakwa INS dari tuduhan memelihara satwa dilindungi, menyoroti pentingnya pendekatan restorative justice dan edukasi hukum di masyarakat.”

Pengadilan Negeri Denpasar telah mengeluarkan putusan penting dalam kasus pemeliharaan satwa dilindungi yang melibatkan INS. Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut aspek perlindungan satwa liar yang terancam serta ketidaktahuan masyarakat tentang regulasi yang berlaku. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti memiliki niat jahat untuk memelihara satwa dilindungi secara ilegal.

Perjalanan Kasus: Dari Penggeledahan Hingga Proses Hukum

Kasus ini bermula pada Maret 2024, ketika petugas dari Ditreskrimsus Polda Bali melakukan penggeledahan di kediaman terdakwa di Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, Badung. Di tempat tersebut, ditemukan empat ekor Landak Jawa yang termasuk dalam satwa yang dilindungi. Terdakwa, yang awalnya hanya memelihara dua ekor landak hasil pemberian mertua, mengaku tidak tahu bahwa satwa tersebut termasuk jenis yang dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Menurut penuturan terdakwa, ia memelihara landak tersebut semata-mata karena kecintaannya terhadap hewan dan tidak pernah berniat untuk memperdagangkannya. Di sisi lain, para saksi dari pihak kepolisian dan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) menyatakan bahwa terdakwa tidak memiliki dokumen yang sah untuk memelihara satwa tersebut.

Proses Pengadilan dan Pembelaan

Di persidangan, terdakwa didampingi oleh tim penasihat hukum yang terdiri dari beberapa advokat terkemuka di Bali. Tim pembela mengajukan argumen bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memiliki mens rea atau niat untuk melanggar hukum. Mereka menyoroti bahwa terdakwa bahkan tidak pernah mendapat sosialisasi terkait regulasi satwa dilindungi.

Selain itu, tim penasihat hukum menegaskan bahwa terdakwa tidak memperdagangkan landak-landak tersebut, melainkan hanya memeliharanya di lingkungan rumahnya sendiri. Perkara ini juga diperkuat oleh keterangan ahli dari BKSDA yang menyatakan bahwa di daerah tersebut, landak sering dianggap sebagai hama yang merusak tanaman dan jarang diketahui status konservasinya oleh masyarakat setempat.

Pertimbangan dari Pengadilan Negeri Denpasar

Pengadilan Negeri Denpasar dalam putusannya menyoroti pentingnya memahami konteks sosial dari perbuatan terdakwa. Menurut pandangan majelis hakim, meskipun terdakwa terbukti secara sah memelihara empat ekor Landak Jawa yang merupakan satwa dilindungi, terdakwa tidak memiliki niat untuk melanggar hukum. Berikut kutipan pendapat hakim dalam perkara ini:

“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Terdakwa terbukti memelihara 4 (empat) ekor landak, dimana satwa yang dimiliki dan dipelihara oleh Terdakwa berdasarkan keterangan Ahli BKSDA merupakan satwa yang dilindungi berupa 4 (empat) ekor Landak Jawa yang merupakan satwa liar yang dilindungi UU, namun terdakwa tidak mempunyai niat sebagai suatu kehendak memelihara tanpa didasarkan atas izin pemeliharaan dari BKSDA karena terdakwa tidak mengetahui bahwa untuk memelihara binatang landak harus mempunyai izin dari BKSDA.”

Pendapat tersebut diperkuat dengan keterangan dari ahli yang menyatakan bahwa pihak BKSDA tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai status konservasi landak di Desa Bongkasa, tempat tinggal terdakwa. Ahli bahkan mengakui bahwa di daerah tersebut, landak sering dianggap hama karena merusak ladang dan tanaman penduduk.

Implikasi Hukum dan Pembelajaran dari Putusan Ini

Hakim juga memberikan catatan penting terkait penanganan kasus serupa di masa depan. Mereka menyarankan agar permasalahan seperti ini seharusnya tidak hanya didekati dengan penegakan hukum yang kaku, tetapi juga dengan pendekatan yang lebih mengedepankan prinsip restorative justice. Putusan ini menegaskan bahwa pemeliharaan satwa tanpa izin dalam konteks ketidaktahuan hukum dapat dianggap sebagai pelanggaran administratif, bukan pidana.

Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak menunjukkan adanya unsur kesengajaan untuk mengeksploitasi satwa tersebut demi keuntungan pribadi. Karena itu, tindakan pemeliharaan tanpa izin harusnya lebih diarahkan pada pemberian peringatan dan edukasi agar masyarakat dapat mengurus izin yang diperlukan. Dalam putusannya, hakim menyatakan:

“Menimbang, bahwa dengan melihat fakta hukum tersebut di atas, Majelis menilai terhadap perbuatan yang dilakukan Terdakwa tidak ada kesengajaan kehendak untuk memelihara dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup apalagi dilanjutkan ada kesengajaan untuk mengeksploitasi binatang landak tersebut untuk keuntungan sendiri.”

Penekanan pada Aspek Keadilan dan Manfaat Hukum

Majelis Hakim juga menekankan bahwa idealnya, penegakan hukum bukan sekadar soal mencari kepastian hukum tetapi juga harus mempertimbangkan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat. Dalam pandangan ini, penegakan hukum yang baik adalah yang mampu menyelaraskan tiga pilar utama—kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Hal ini selaras dengan teori hukum Gustav Radbruch yang mengatakan bahwa hukum harus mengandung unsur keadilan dan manfaat di samping kepastian.

“Bahwa penegakan hukum yang ideal bisa terwujud bilamana semua aparat penegak hukum dengan cerdas, tanggap, dan mempunyai insting nurani yang kuat menelaah dan memilah-milah perkara mana yang harus diselesaikan dengan cara represif (pembalasan), rehabilitasi (pembinaan) dan restitusi (ganti kerugian) sehingga supremasi hukum bisa terwujud.”

Pendapat PN Denpasar dalam Perkara No Nomor 809/Pid.Sus/2024/PN Dps

“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut diatas, Terdakwa terbukti memelihara 4 (empat) ekor landak, dimana satwa yang dimiliki dan dipelihara oleh Terdakwa berdasarkan keterangan Ahli BKSDA merupakan satwa yang dilindungi berupa 4 (empat) ekor Landak Jawa yang merupakan satwa liar yang dilindungi UU, namun terdakwa tidak mempunyai niat sebagai suatu kehendak memelihara tanpa didasarkan atas ijin pemeliharaan dari BKSDA karena terdakwa tidak mengetahui bahwa untuk memelihara binatang landak harus mempunyai ijin dari BKSDA.

 Bahwa terdakwa memelihara landak tersebut karena mendapat dari almarhum mertua kakak iparnya. Bahwa ketidaktahuan terdakwa bahwa binatang landak merupakan binatang yang dilindungi juga karena didesa Bongkasa belum pernah ada sosialisasi mengenai binatang landak termasuk binatang yang dilindungi sehingga siapa saja yang memiliki dan memelihara binatang tersebut harus mempunyai ijin dari pihak yang berwenang. Hal ini secara tegas juga dibenarkan oleh ahli Suhendarto, S.P., S,H., yang menerangkan bahwa ahli tidak mengetahui bahwa di desa Bongkasa ada Binatang landak yang banyak dan justru menjadi hama bagi Masyarakat karena berdasarkan pengamatan ahli belum ada laporan dari Masyarakat desa Bongkasa.

Bahwa di daerah Bongkasa khusus Binatang landak belum pernah ada sosialisasi. Bahwa menurut ahli perbuatan Terdakwa yang memelihara landak yang belum ada ijin apalagi diketahui Terdakwa tidak mengetahui bahwa Binatang landak tersebut adalah Binatang yang dilindungi adalah hanya pelanggaran administrasi yang cukup diberikan peringatan/pernyataan agar dilakukan pengurusan ijin dan apabila tidak bisa dipenuhi satwa landak tersebut diserahkan ke BKSDA.

Menimbang, bahwa dengan melihat fakta hukum tersebut diatas, Majelis menilai terhadap perbuatan yang dilakukan Terdakwa tidak ada kesengajaan kehendak untuk memelihara dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup apalagi dilanjutkan ada kesengajaan untuk mengeksploitasi binatang landak tersebut untuk keuntungan sendiri.

Bahwa Terdakwa tidak mengetahui dan memikirkan bahwa memelihara Binatang landak adalah perbuatan melawan hukum. Perbuatan Terdakwa tersebut tidak lebih karena kesalahan (culpa) memelihara Binatang landak karena tidak diketahui binatang tersebut adalah binatang yang dilindungi sehingga pemeliharaan tersebut tidak disertai dengan ijin pemeliharaan dari pihak yang berwenang dengan memelihara binatang landak”

Lebih jauh mengenai proses hukumnya sendiri, PN Denpasar memberikan pendapat khusus sebagaimana tercermin di bawah ini

“Menimbang, bahwa pada hakekatnya terdakwa adalah seseorang yang dituntut, diperiksa, dan diadili di pengadilan atas tuduhan melakukan tindak pidana. Status terdakwa didapat setelah seseorang tersangka memenuhi syarat dan perkaranya dilimpahkan ke persidangan;

Menimbang, bahwa untuk menguji apakah seseorang terdakwa bersalah, memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana sudah tepat dilakukan pengujian di pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang sah bukan berdasarkan arogansi kekuasaan sehingga apa yang menjadi harapan dan sandaran hukum selama ini berupa kepastian hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan bisa terwujud;

Menimbang, bahwa secara prinsip hukum diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat (manusia) terhadap kepentingan yang berbeda. Melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari manusia (subyek hukum), sebagaimana dikatakan oleh Gustav Radburch bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan;

Menimbang, bahwa sebagaimana dalam tuntutan Penuntut Umum dan pembelaan dari penasihat hukum terdakwa yang memohon agar terdakwa dibebaskan Majelis Hakim sependapat dengan tuntutan dan permohonan dalam pembelaan penasihat hukum Terdakwa karena sebagaimana Majelis Hakim telah pertimbangkan diatas bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan penuntut umum diatas karena Majelis Hakim memandang bahwa dalam menilai perbuatan terdakwa tidak semata-mata mengedepankan pendekatan kepastian hukum akan tetapi juga melihat rasa keadilan dan kemanfaatan di masyarakat.

Bahwa penegakan hukum yang ideal bisa terujud bilamana semua aparat penegak hukum dengan cerdas, tanggap dan mempunyai isting nurani yang kuat menelaah dan memilah-milah perkara mana yang harus diselesaikan dengan cara represif (pembalasan), Rehabilitasi (pembinaan) dan Restitusi (ganti kerugian) sehingga supremasi hukum bisa terwujud;

Menimbang, bahwa harapan Majelis hakim untuk kedepannya agar semua aparat penegak hukum yang mempunyai kapasitas kewenangan lebih berhati-hati dan lebih mengedepankan pendekatan Restorative Justice dalam menyelesaikan suatu masalah sehingga kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan yang menjadi vilar dalam penegakan hukum bisa dirasakan oleh masyarakat.”

Pentingnya Pendekatan Restorative Justice

Dalam putusannya, majelis hakim menyarankan agar para aparat penegak hukum lebih mengedepankan pendekatan restorative justice dalam kasus-kasus pelanggaran hukum yang melibatkan ketidaktahuan masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada hukuman tetapi juga mencari solusi yang adil dan bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dengan cara ini, rasa keadilan masyarakat dapat dipenuhi tanpa mengorbankan tujuan penegakan hukum yang sesungguhnya.

Dengan keputusan pengadilan ini, diharapkan ada perbaikan dalam upaya penegakan hukum yang tidak hanya mengutamakan aspek pidana, tetapi juga memberi ruang bagi edukasi dan peningkatan kesadaran di kalangan masyarakat.

Penutup: Menjaga Keseimbangan Hukum dan Edukasi

Kasus ini menjadi pengingat penting bagi para penegak hukum dan masyarakat akan perlunya pemahaman yang mendalam tentang regulasi konservasi satwa. Pendekatan hukum yang hanya mengedepankan sanksi tanpa mempertimbangkan konteks sosial dapat berujung pada ketidakadilan. Dengan menyoroti kurangnya sosialisasi di masyarakat, putusan Pengadilan Negeri Denpasar ini menekankan bahwa penegakan hukum yang ideal harus mampu merangkul nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan, tidak hanya menuntut kepastian hukum semata. Pendekatan restorative justice yang lebih manusiawi, khususnya dalam perkara yang melibatkan ketidaktahuan hukum, adalah langkah yang lebih bijak untuk menciptakan harmoni antara perlindungan hukum dan kesejahteraan masyarakat.

Diharapkan semua pihak, baik aparat penegak hukum maupun instansi terkait, dapat bekerja sama untuk menciptakan kesadaran hukum yang lebih baik di kalangan masyarakat, agar kasus serupa tidak lagi terulang di masa mendatang. Hukum tidak seharusnya menjadi alat penekan, tetapi harus menjadi penuntun bagi terciptanya masyarakat yang sadar hukum dan berkeadilan.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading