Putusan Pasal 251 KUHD yang Mengubah Lanskap Industri Asuransi di Indonesia

“Mahkamah Konstitusi Indonesia memutuskan Pasal 251 KUHD inkonstitusional, memberikan perlindungan lebih besar bagi konsumen asuransi.”

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sebagai inkonstitusional bersyarat. Keputusan ini melarang perusahaan asuransi menolak klaim nasabah hanya karena ketidaksempurnaan pengungkapan informasi, kecuali disertai putusan pengadilan atau kesepakatan bersama. Putusan ini menjadi langkah besar dalam melindungi hak-hak konsumen dan membawa implikasi signifikan bagi industri asuransi.

Pasal 251 KUHD sebelumnya berbunyi: ‘Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.’

Aturan ini kemudian diubah sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. “Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: ‘Termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan’ sebagaimana tertuang dalam amar Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024

Menyoal Keseimbangan Hak dalam Polis Asuransi

Pasal 251 KUHD sebelumnya memberi keleluasaan kepada perusahaan asuransi untuk membatalkan klaim dengan alasan adanya kesalahan informasi atau penyembunyian data oleh nasabah, bahkan jika dilakukan dengan iktikad baik. Norma ini dianggap tidak adil, sebab hanya memberi hak eksklusif kepada penanggung, sementara tertanggung tidak memiliki ruang untuk membela diri. MK menilai bahwa ketidakseimbangan ini bertentangan dengan prinsip keadilan yang diamanatkan UUD 1945.

Dalam amar putusannya, Hakim MK Suhartoyo menyatakan bahwa pembatalan pertanggungan harus didasarkan pada putusan pengadilan atau kesepakatan antara penanggung dan tertanggung. Pendekatan ini, menurut MK, memberikan perlindungan lebih baik bagi tertanggung serta mencegah penyalahgunaan hak oleh perusahaan asuransi.

Kasus Sopan Santun Duha: Awal Perubahan

Putusan ini berakar dari kasus yang diajukan Maribati Duha, ahli waris dari almarhum Sopan Santun Duha. Setelah meninggalnya Sopan, Prudential Life Assurance menolak membayar sisa nilai manfaat sebesar Rp 510,5 juta. Maribati mengajukan pengujian konstitusional terhadap Pasal 251 KUHD dengan alasan bahwa pasal tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan asuransi untuk menghindari tanggung jawab.

Dalam persidangan, Pemohon menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD sering kali digunakan perusahaan asuransi sebagai “senjata sakti” untuk menolak klaim nasabah tanpa pengujian lebih lanjut. MK sepakat, dan putusan ini menjadi angin segar bagi konsumen asuransi di Indonesia.

Dampak Putusan terhadap Industri Asuransi

Putusan ini memaksa perusahaan asuransi untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan syarat dan ketentuan polis. Proses underwriting dan manajemen risiko harus disesuaikan agar sejalan dengan norma baru. Di sisi lain, perusahaan asuransi menghadapi risiko peningkatan sengketa hukum, mengingat nasabah kini dapat meminta uji pengadilan jika klaimnya ditolak.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan segera menerbitkan pedoman baru untuk memastikan praktik yang seragam di seluruh industri. Selain itu, perusahaan asuransi perlu melatih stafnya, memperbarui sistem, dan menyesuaikan kebijakan internal untuk mengakomodasi perubahan ini.

Keseimbangan antara Perlindungan Konsumen dan Prinsip Utmost Good Faith

Meski putusan ini mengutamakan perlindungan konsumen, prinsip utmost good faith tetap berlaku. Kedua belah pihak—tertanggung dan penanggung—harus jujur dan terbuka dalam mengungkapkan informasi. Utmost good faith adalah prinsip yang mengharuskan kedua belah pihak dalam perjanjian asuransi untuk saling jujur dan terbuka dalam menyampaikan informasi. Prinsip ini juga dikenal sebagai prinsip iktikad baik atau kejujuran mutlak.

Karena itu, Perusahaan asuransi dapat mengajukan kontra gugatan bahkan laporan pidana jika terbukti bahwa tertanggung sengaja memberikan informasi palsu untuk mendapatkan keuntungan.

Namun, putusan ini juga mengingatkan perusahaan asuransi bahwa mereka harus mematuhi prinsip keadilan dalam setiap kebijakan yang diambil. Pembatalan klaim tanpa alasan kuat atau tanpa putusan pengadilan akan berisiko melanggar hukum dan merusak reputasi.

Perubahan Paradigma dalam Kontrak Asuransi

Putusan MK terkait Pasal 251 KUHD menjadi tonggak penting dalam memastikan bahwa perjanjian asuransi memberikan perlindungan yang adil bagi kedua belah pihak. Perusahaan asuransi harus menyesuaikan diri dengan lanskap hukum baru ini, sementara konsumen kini memiliki perlindungan yang lebih kuat dalam menuntut hak mereka. Dengan demikian, industri asuransi Indonesia bergerak menuju transparansi dan keadilan yang lebih baik, sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum modern.

Pendapat Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024

“Bahwa terlepas dari persoalan pembatalan suatu perjanjian kemudian dapat dilakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan secara keperdataan, baik karena alasan adanya perbuatan melawan hukum atau ingkar/cidera janji (wanprestasi) kepada pengadilan, namun permasalahan fundamental yang harus dijawab dalam permohonan a quo, khususnya dalam perjanjian asuransi adalah apakah syarat batal atau pembatalan suatu perjanjian baik yang “batal demi hukum” atau “dapat dibatalkan” dapat dilakukan oleh salah satu pihak dengan sendirinya (otomatis) ataukah harus terlebih dahulu ada pembatalan dari pengadilan;

Berkenaan dengan hal tersebut, penting dijelaskan bahwa pengaturan pencantuman syarat batal (nietig) dalam suatu perjanjian timbal balik sebagaimana dalam perjianjian asuransi merupakan suatu hal yang selalu dianggap dicantumkan. Oleh karena itu, dalam setiap pencantuman klausula perjanjian asuransi, diwajibkan pula mencantumkan syarat batal dimaksud. Artinya, jika dalam suatu perjanjian tidak dicantumkan syarat batalnya suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut baik batal demi hukum atau dapat dibatalkan adalah merupakan konsekuensi yuridis dari batalnya suatu perjanjian yang disebabkan oleh ketentuan undang-undang.

Berkaitan perjanjian asuransi yang mempunyai sifat khusus, yaitu di samping merupakan perjanjian untung-untungan, di mana perjanjian yang digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu terjadi, juga merupakan perjanjian timbal balik, maka penekanan utama dari sifat perjanjian asuransi tetap harus dalam konteks memberikan pelindungan dan kepastian hukum yang adil kepada para pihak, baik penanggung maupun tertanggung. Terlebih, secara universal pihak tertanggung dalam banyak hal berada pada posisi yang lebih lemah, karena terbatasnya pemahaman tentang bentuk pelindungan dan kepastian hukum yang seharusnya diperoleh, maupun karena secara faktual bentuk maupun syarat perjanjian sudah disusun melalui format baku (standar kontrak) yang lebih memberikan dampak keuntungan yang secara tidak seimbang dan hal inilah yang menjadi salah satu penyebab krusial adanya ketidakkonsistenan dalam penerapan syarat batal dalam persoalan hukum perjanjian asuransi yang justru akan membawa para pihak pada situasi yang sulit, tidak jelas, tidak pasti, dan menimbulkan implikasi hukum pada pertanggungan atau perjanjian asuransi itu sendiri yang acapkali menjauhkan dari manfaat pertanggungan asuransi.

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut berkaitan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 251 KUHD yang mengatur batalnya pertanggungan karena pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukan dengan iktikad baik. Terhadap dalil norma a quo, Mahkamah mempertimbangkan bahwa prinsip iktikad baik sempurna atau prinsip iktikad baik yang sebaik baiknya (principle of utmost good faith) dalam perjanjian asuransi adalah syarat utama yang bersifat fundamental dan menjadi instrumen untuk mendapatkan perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian asuransi, baik penanggung maupun tertanggung. Hal demikian penting ditekankan karena sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, bahwa perjanjian asuransi adalah jenis perjanjian yang bersifat khusus, di mana salah satunya adalah perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perjanjian yang didasarkan pada suatu peristiwa hukum yang belum tentu terjadi.

Oleh karena itu, sebagai pihak yang akan menerima pengalihan risiko dari kemungkinan penyalahgunaan keadaan atau jebakan (trap) akibat ketidakseimbangan penguasaan informasi dan faktor risiko yang diperjanjikan harus dihindarkan. Demikian pula terhadap pihak yang akan mendapatkan jaminan pemenuhan penggantian risiko juga harus diberikan perlindungan. Oleh karena itu, unsur iktikad baik menjadi kunci utama atau dasar diadakannya perjanjian asuransi.

Namun demikian, sebagaimana pada umumnya dalam suatu perjanjian kemungkinan adanya salah satu pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian baik dengan unsur yang disengaja maupun tidak disengaja adalah menjadi salah satu sebab yang tidak dapat dihindarkan dan hal tersebut menjadi permasalahan hukum yang krusial bagi para pihak dalam menyelesaikannya dengan argumentasi hukum yang berbeda antara pihak yang satu dan pihak yang lainnya, in casu penanggung dan tertanggung.

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, norma Pasal 251 KUHD setelah dicermati secara saksama oleh Mahkamah merupakan norma yang juga berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam, khususnya jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkenaan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan iktikad baik. Sebab, norma Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian, kecuali sekadar ada pilihan akibat yang dapat timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan tersebut diketahui sebelumnya. Oleh karena itu, nampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tatacara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat dengan penanggung. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, oleh karena sifat suatu perjanjian yang seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian, yang di antaranya syarat kebebasan berkontrak dan harus adanya kesepakatan para pihak, di samping prinsip-prinsip yang lainnya, maka adresat norma Pasal 251 KUHD yang seolah-olah hanya ditujukan untuk memberikan peringatan kepada tertanggung saja, tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung, sehingga telah menjadi kesepakatan adalah norma yang tidak memberikan pelindungan dan kepastian hukum yang adil khususnya bagi tertangggung. Berkenaan dengan hal tersebut, jika memang terdapat keraguan dari penanggung terhadap hal atau kondisi dari tertanggung sebelum melakukan kesepakatan untuk dituangkan dalam perjanjian, terlebih terhadap perjanjian asuransi yang memiliki sifat khusus karena masih didasarkan keadaan/peristiwa yang belum pasti terjadi, seharusnya pihak penanggung dapat mempertimbangkan untuk meyakini kesepakatan yang akan diambil dalam menindaklanjuti perjanjian yang akan dibuat bersama dengan pihak tertanggung, bukan menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban kepada tertanggung;

Bahwa sebagaimana pertimbangan hukum di atas, iktikad baik menjadi syarat utama dalam menyepakati terlaksana atau tidaknya suatu perjanjian asuransi, oleh karenanya tidak dapat menjadi alasan pembenar, jika kemudian terdapat hal-hal yang diketahui atau ditemukan setelahnya yang menjadi alasan untuk mempersoalkan perjanjian yang sudah disepakati, bahkan membatalkan secara sepihak. Lebih lanjut, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa perjanjian pertanggungan/asuransi merupakan ranah hukum perdata yang sangat bergantung pada kesepakatan para pihak. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, apabila terdapat perselisihan di antara para pihak dalam perjanjian, hal tersebut merupakan perselisihan/sengketa para pihak (contentiosa/interparties) yang penyelesaiannya terlebih dahulu ditempuh melalui upaya kesepakatan kedua belah pihak atau melalui mediasi. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak tercapai, untuk memberikan penilaian terhadap ada tidaknya hal-hal yang keliru atau disembunyikan sekalipun dengan iktikad baik berkaitan dengan pihak tertanggung, secara adil dan objektif dalam perjanjian asuransi untuk dapat dinyatakan batal, menurut Mahkamah harus dilakukan oleh pengadilan yang secara konstitusional sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang menyelesaikan setiap perkara dalam ranah keperdataan (privat) sebagai upaya penyelesaian terakhir (the last resort).

Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah perlu memberikan penegasan dan pemaknaan terhadap norma ketentuan Pasal 251 KUHD. Penegasan norma Pasal 251 KUHD dimaksud diperlukan dikarenakan norma tersebut tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Terlebih, norma Pasal 251 KUHD merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini. Dengan demikian, menurut Mahkamah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap norma Pasal 251 KUHD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan”.”

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading