MK Batasi Makna Kerusuhan dalam UU ITE: Hanya Gangguan di Dunia Fisik

“Mahkamah Konstitusi memperjelas bahwa “kerusuhan” dalam UU ITE hanya mencakup gangguan ketertiban umum di ruang fisik, memperkuat perlindungan atas kebebasan berekspresi di dunia digital.”

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memberikan kejelasan penting terkait interpretasi Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Melalui Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa (29/4/2025), MK menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “kerusuhan” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital atau siber.

Latar Belakang Uji Materi Pasal 28 Ayat (3) UU ITE

Permohonan pengujian materi ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa yang menguji sejumlah ketentuan dalam UU ITE dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Inti permohonan tersebut berfokus pada kekhawatiran bahwa norma Pasal 28 ayat (3) UU ITE dapat digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital hanya karena menimbulkan perdebatan atau perbedaan pendapat. Kekhawatiran ini beralasan mengingat penjelasan pasal sebelumnya tidak secara eksplisit membedakan antara kerusuhan fisik dan kerusuhan di ruang digital.

Mahkamah akhirnya menyatakan bahwa pembatasan makna kerusuhan hanya berlaku untuk kondisi nyata di masyarakat fisik. Dengan demikian, aparat penegak hukum tidak dapat memproses seseorang hanya karena keributan atau perdebatan di ruang maya.

Penjelasan Mahkamah tentang Makna Kerusuhan

Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangan hukumnya menekankan bahwa hukum pidana harus mengikuti prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Norma yang samar-samar berpotensi melanggar asas kepastian hukum. MK juga mengaitkan pembatasan ini dengan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945.

Ketua MK Suhartoyo dalam amar putusannya menyatakan bahwa kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE hanya berlaku untuk gangguan ketertiban umum di ruang fisik. Dengan demikian, keributan di ruang digital yang tidak berdampak nyata terhadap ketertiban umum di masyarakat fisik tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kerusuhan.

Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 115/PUU-XII/2024

“Selain hal yang dijelaskan di atas, UU 1/1946 menitikberatkan tindakan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat tanpa memastikan apakah berita bohong yang menimbulkan keonaran tersebut terjadi di masyarakat dalam ruang fisik atau bukan ruang fisik, sehingga keonaran yang terjadi tidak di ruang fisik juga dapat dikenakan UU 1/1946. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur dalam UU 1/2024 yang hanya meliputi akibat pemberitahuan bohong berupa kerusuhan yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik. Namun demikian, jika dicermati berkenaan dengan pengaturan tindakan menyebarkan berita/pemberitahuan bohong dengan menggunakan sarana teknologi informasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang menyatakan, “Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.” Telah ternyata menciptakan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kerusuhan” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber. Artinya, Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah memberikan pembatasan yang jelas bahwa penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan yang secara fisik terjadi di masyarakat, tidak termasuk keributan/kerusuhan yang terjadi di ruang digital/siber. Pembatasan dimaksud sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 sehingga aparat penegak hukum hanya dapat melakukan proses hukum terhadap penyebaran berita bohong yang menimbulkan keributan/kerusuhan secara fisik yang terjadi di masyarakat. Hal demikian dimaksudkan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang merupakan delik materiil yang menekankan pada akibat perbuatan atau kerusuhan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Sementara itu, berkaitan dengan konstitusionalitas Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon, dengan telah dimaknainya norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 sebagai norma primer maka konsekuensi yuridisnya, Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 harus menyesuaikan dengan pemaknaan norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, sepanjang kata “kerusuhan” dalam norma Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kerusuhan” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber. Dengan demikian, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.”

Perlindungan Kebebasan Berpendapat di Dunia Digital

Putusan ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat perlindungan atas kebebasan berekspresi di dunia maya. Mahkamah menekankan bahwa kebebasan berbicara, termasuk untuk mengkritik penyelenggara negara, adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi. Kritik yang disampaikan untuk kepentingan umum melalui media digital tidak boleh dikriminalisasi hanya karena menimbulkan ketidaknyamanan atau perdebatan.

Mahkamah juga mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap ekspresi di dunia maya dapat melemahkan demokrasi, menimbulkan chilling effect, dan menghambat keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemerintahan.

Implikasi Putusan MK terhadap Penegakan Hukum di Indonesia

Keputusan Mahkamah ini memiliki implikasi yang luas dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Aparat penegak hukum kini harus memastikan bahwa tindakan penyebaran berita bohong hanya dapat diproses secara pidana apabila benar-benar menimbulkan kerusuhan fisik yang nyata di masyarakat. Debat panas di media sosial, kritik terhadap pejabat, atau diskusi kontroversial di platform digital tidak lagi dapat dijadikan dasar untuk proses pidana berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UU ITE.

Putusan ini diharapkan membawa angin segar bagi iklim demokrasi digital di Indonesia, di mana warga negara dapat lebih bebas menyuarakan pendapat dan kritik tanpa rasa takut akan dikriminalisasi secara sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi telah meletakkan fondasi yang lebih kuat untuk menjaga keseimbangan antara ketertiban umum dan perlindungan hak asasi manusia di era teknologi informasi.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading