Pedoman Jaksa Agung No. 3 Tahun 2019: Transparansi dan Keadilan dalam Tuntutan Pidana

“Dalam upaya memperkuat prinsip keadilan yang adil dan transparan, Kejaksaan Republik Indonesia telah menetapkan Pedoman Jaksa Agung No. 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum. Pedoman ini tidak hanya menjadi panduan bagi penuntut umum, tetapi juga upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum yang selaras dengan kebutuhan masyarakat.”

Mengapa Pedoman Baru Dibutuhkan?

Perubahan dalam dunia hukum, dinamika sosial, dan perkembangan teknologi terus menuntut perbaikan dalam proses hukum di Indonesia. Pedoman Jaksa Agung No. 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum muncul sebagai kebutuhan mendesak untuk menyesuaikan proses penuntutan dengan konteks hukum modern. Melalui pedoman ini, Kejaksaan Republik Indonesia bertujuan untuk mengurangi disparitas tuntutan pidana, memberikan keadilan yang merata, dan mengakomodasi perkembangan hukum yang cepat.

Pedoman ini bertujuan untuk memastikan bahwa penuntut umum memiliki kemandirian dalam menjalankan tugasnya. Namun, penuntut juga harus bertanggung jawab atas setiap keputusan, yang dikendalikan melalui pengawasan berjenjang. Hal ini mencerminkan keseimbangan antara otonomi penegak hukum dan pengawasan untuk menghindari penyimpangan dalam praktik penuntutan.

Prinsip-Prinsip di Balik Tuntutan Pidana

Pada inti pedoman ini, terdapat prinsip-prinsip dasar yang menjadi pijakan dalam proses penuntutan. Tuntutan pidana harus mempertimbangkan tingkat ketercelaan dari pelaku dan kerugian yang dialami oleh korban atau masyarakat. Selain itu, sikap batin pelaku dan kepentingan hukum yang dilindungi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam menyusun rencana tuntutan.

Jaksa juga diharapkan memperhatikan kearifan lokal dalam pengajuan tuntutan, memastikan bahwa pendekatan yang diambil sejalan dengan norma-norma masyarakat setempat. Hal ini menjadi aspek penting karena Indonesia memiliki beragam latar belakang budaya dan adat yang mempengaruhi pandangan masyarakat tentang keadilan.

Pengendalian Kewenangan di Tingkat Daerah dan Nasional

Pedoman ini mengatur secara rinci mengenai pendelegasian kewenangan tuntutan, yang dibedakan berdasarkan skala perkara. Perkara berskala nasional, seperti yang melibatkan pejabat publik atau yang mendapat sorotan media nasional, diatur oleh Kejaksaan Tinggi dan di bawah pengendalian langsung Jaksa Agung. Di sisi lain, perkara berskala daerah diserahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri, dengan beberapa pengecualian, seperti kasus yang melibatkan tuntutan pidana mati atau seumur hidup, yang tetap memerlukan pengendalian di tingkat nasional.

Dengan aturan ini, pedoman tersebut bertujuan untuk menyederhanakan proses pengendalian tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian dan pengawasan yang ketat dalam kasus-kasus besar atau krusial.

Jenis-Jenis Tuntutan dan Syarat-Syaratnya

Pedoman ini menetapkan berbagai jenis tuntutan pidana yang dapat diajukan oleh penuntut umum, disertai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam setiap kasus.

Tuntutan Bebas (Vrijspraak) diajukan dalam hal kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, atau ketika unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terpenuhi. Tuntutan bebas juga diajukan jika alat bukti yang diajukan di persidangan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah.

Tuntutan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag van Rechtsvervolging) diajukan apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut tidak merupakan tindak pidana. Sebagai contoh, jika terdapat alasan pembenar atau pemaaf yang menghapuskan sifat melawan hukum atau kesalahan terdakwa, seperti perbuatan yang dilakukan dalam pembelaan diri.

Tuntutan Pidana dengan Syarat dapat diajukan dalam kasus-kasus tertentu yang dianggap layak untuk tidak dijatuhi pidana penjara. Syaratnya, tindak pidana yang dilakukan terdakwa diancam pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana, kerugian korban tidak terlalu besar dan terdakwa telah mengganti kerugian atau memperbaiki akibat tindak pidana tersebut, serta adanya perdamaian antara terdakwa dan korban. Selain itu, terdakwa haruslah tulang punggung keluarga atau memiliki profesi yang sangat dibutuhkan di daerahnya.

Tuntutan Tidak Dapat Diterima diajukan apabila terdapat alasan hukum yang membuat kewenangan menuntut pidana menjadi gugur, misalnya ketika terdakwa telah meninggal dunia, perkara sudah pernah diadili dengan putusan berkekuatan hukum tetap (ne bis in idem), atau perkara tersebut telah daluwarsa.

Tuntutan Pidana terhadap Anak diatur secara khusus dalam pedoman ini. Penjara harus menjadi opsi terakhir, dan tuntutan hanya dapat diajukan jika anak telah berusia 14 tahun dan tindak pidana yang dilakukan diancam pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Hukuman yang dijatuhkan juga harus lebih ringan daripada ancaman maksimum untuk orang dewasa.

Mengedepankan Keadilan dalam Kasus-Kasus Khusus

Salah satu poin penting dari pedoman ini adalah mengenai tuntutan dalam kasus yang memiliki dampak sosial luas, baik berskala daerah maupun nasional. Kejahatan yang melibatkan tokoh masyarakat, pejabat publik, atau yang menggunakan modus operandi canggih dengan teknologi tinggi, akan mendapat perhatian lebih. Penegak hukum diminta untuk mempertimbangkan dampak sosial dari kasus ini, terutama ketika menyangkut stabilitas nasional atau keamanan publik.

Selain itu, pedoman juga mencakup kasus kejahatan yang terkait dengan ketertiban umum, korupsi, atau pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam penanganan kasus-kasus ini, pedoman tersebut menegaskan pentingnya transparansi dan keadilan untuk menghindari ketidakpercayaan publik terhadap proses hukum.

Menuju Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Pedoman ini juga memberi perhatian besar terhadap keadaan yang memberatkan dan meringankan dalam proses penuntutan. Kejahatan yang mengancam stabilitas negara, mengandung sentimen diskriminatif, atau menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat atau negara akan dipandang sebagai faktor yang memberatkan. Di sisi lain, tindakan yang dilakukan oleh terdakwa yang menyesali perbuatannya atau sudah mencapai perdamaian dengan korban dapat menjadi faktor yang meringankan.

Pedoman ini juga memberi ruang bagi pendekatan yang lebih humanis, terutama dalam kasus yang melibatkan terdakwa anak. Dalam hal ini, pendekatan yang lebih lunak diutamakan untuk menjaga masa depan mereka, sambil tetap mematuhi prinsip-prinsip keadilan.

Peran Sentral Kejaksaan dalam Mewujudkan Keadilan

Pedoman Jaksa Agung No. 3 Tahun 2019 merupakan langkah penting dalam memperkuat sistem hukum di Indonesia, memastikan bahwa penuntutan pidana berjalan adil, transparan, dan akuntabel. Pedoman ini tidak hanya mengatur mekanisme teknis, tetapi juga memperkuat prinsip keadilan substantif yang menghargai hak setiap warga negara. Kejaksaan, melalui pedoman ini, telah menegaskan komitmennya untuk menjaga integritas proses hukum, memberikan kepastian hukum, dan mewujudkan keadilan bagi semua lapisan masyarakat.

Chayra Law Center adalah sebuah consulting firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading