“Di tengah industri yang terus berkembang, sebuah skandal besar telah terungkap, menyeret kelompok usaha korporasi raksasa ke pusaran kontroversi hukum. Dalam kasus yang kompleks dan mengejutkan ini, seorang pegawai korporasi yang berkantor di Jakarta, telah terbukti melakukan serangkaian tindakan yang merugikan negara.”
Di tengah gempuran berita sehari-hari, muncul sebuah kisah yang cukup untuk membuat kita berhenti sejenak dan merenung: sebuah skandal penghindaran pajak oleh korporasi raksasa yang merugikan negara triliunan rupiah. Dari kantor-kantor berkilau di Jakarta hingga ruang sidang yang tegang, cerita ini melibatkan manipulasi, kolusi, dan sebuah pertarungan hukum yang berakhir dengan keputusan penting dari Mahkamah Agung Indonesia.
Aksi Tidak Terpuji Berkedok Pengelolaan Pajak
Bertindak sebagai pengelola pajak, pegawai tersebut telah memanipulasi laporan pajak dari kelompok usaha itu dari 3 periode tahun pajak. Laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) yang diajukan ke otoritas fiskal dipalsukan, dengan menunjukkan bahwa laporan keuangan perusahaan tersebut belum diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, padahal kenyataannya, laporan tersebut telah diaudit oleh dua Kantor Akuntan Publik
Rugikan Negara Triliunan Rupiah
Akibat dari manipulasi dan penyampaian informasi yang tidak benar ini, pendapatan negara dari sektor pajak mengalami kerugian besar. Direktorat Jenderal Pajak menghitung total kerugian mencapai angka astronomis yang terakumulasi dari ketidakjujuran dalam pengisian SPT PPh untuk empat tahun berturut-turut.
Modus Operandi dan Kolusi
Lebih jauh, pegawai itu bersama rekan-rekannya telah menggunakan berbagai taktik untuk meminimalisir kewajiban pajak, seperti penjualan di bawah harga pasar, hedging fiktif, dan pembebanan biaya yang tidak sesuai, yang disebut sebagai biaya Jakarta dan Management Fee. Kesemua ini mengindikasikan adanya upaya penghindaran pajak yang sistematis dan terorganisir.
Langkah Hukum Berikutnya: Kasasi dan Pertanggungjawaban Korporasi
Proses hukum terkait kasus penghindaran pajak oleh kelompok usaha tersebut mengambil arah yang mengejutkan setelah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menerima eksepsi dari terdakwa, keputusan yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan. Namun, tidak terdiam, Jaksa Penuntut Umum mengambil langkah strategis dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Kasasi dan Kebijakan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung menyatakan sang pegawai bersalah dalam kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Putusan ini tidak hanya menghukum sang pegawai, tetapi juga mencatat sebuah preseden penting dalam hukum korporasi di Indonesia. Mahkamah Agung menekankan bahwa tidak adil jika hanya terdakwa, sebagai individu, yang menanggung beban pidana karena perbuatannya dilakukan untuk kepentingan bisnis korporasi yang diwakili. Sehingga, pertanggungjawaban pidana juga harus diberlakukan kepada korporasi yang mendapat manfaat dari penghindaran pajak.
Kaidah Hukum dari Putusan Mahkamah Agung No 2239 K/PID.SUS/2012
“Sekalipun secara individual perbuatan Terdakwa terjadi karena ”mens rea” dari Terdakwa, namun karena perbuatan tersebut semata-mata untuk kepentingan dari korporasi maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa adalah dikehendaki atau ”mensnrea” dari 14 (empat belas) korporasi, sehingga dengan demikian pembebanan tanggung jawab pidana ”Individual Liability” dengan corporate liability harus diterapkan secara simultan sebagai cerminan dari doktrin respondeat superior atau doktrin ”Vicarious Liability” diterapkan pertanggungan jawab pidana kepada korporasi atas perbuatan atau prilaku Terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya menjadi tugas dan tanggung jawab lagi pula apa yang dilakukan Terdakwa telah diputuskan secara kolektif “
Doktrin Tanggung Jawab Korporasi
Keputusan Mahkamah Agung menegaskan penerapan “Individual Liability” bersamaan dengan “Corporate Liability”, mengadopsi prinsip respondeat superior atau “Vicarious Liability”. Ini berarti, korporasi juga bertanggung jawab atas tindakan individu yang mewakili mereka. Mahkamah Agung mengakui bahwa konsep menuntut pertanggungjawaban pidana korporasi masih baru di Indonesia dan belum sepenuhnya diterima. Namun, perkembangan praktik hukum pidana sudah mulai mengarah pada pembebanan pertanggungjawaban pada korporasi.
Pelajaran dari Belanda dan Arah Baru Hukum Pajak di Indonesia
Mahkamah Agung mengambil inspirasi dari perkembangan hukum pajak di Belanda, yang telah mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka memperkuat penegakan hukum terhadap tindak pidana pajak. Ini menandai sebuah titik balik dalam pemikiran hukum di Indonesia, menunjukkan perlunya mengadopsi pendekatan yang serupa untuk menegakkan hukum perpajakan dan memastikan keadilan dalam pembayaran pajak.
Kesimpulan: Memperluas Tanggung Jawab dan Keadilan Pajak
Putusan Mahkamah Agung ini membuka jalan bagi penerapan sistem hukum yang lebih inklusif dan adil, di mana tidak hanya individu tetapi juga korporasi harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini menandai langkah maju dalam upaya Indonesia untuk memperkuat sistem perpajakannya dan memastikan bahwa semua pihak, baik individu maupun korporasi, memberikan kontribusi yang adil terhadap pendapatan negara. Dengan demikian, keadilan khususnya dalam pembayaran Pajak Penghasilan Penghasilan dan Pajak Badan menjadi fokus utama, mencerminkan pendekatan yang lebih berorientasi pada rasa keadilan daripada sekadar pemidanaan individu.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)