“Mahkamah Konstitusi Indonesia menghapus presidential threshold, membuka pintu untuk lebih banyak calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2029, memberikan dampak signifikan terhadap politik dan ekonomi.”
Dalam sebuah keputusan bersejarah, Mahkamah Konstitusi Indonesia telah menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, dikenal sebagai presidential threshold, yang sebelumnya ditetapkan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Keputusan ini diharapkan akan membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik Indonesia menjelang pemilihan umum 2029, dan memberikan dampak yang signifikan terhadap dunia bisnis di negara ini.
Keputusan untuk Keterbukaan Lebih Besar
Dipimpin oleh Ketua MK, Suhartoyo, putusan ini dibacakan dalam sidang yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/1/2025). Putusan tersebut mengabulkan sepenuhnya permohonan yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yang menilai bahwa presidential threshold melanggar prinsip “one man one vote one value”.
Implikasi dari Penghapusan Presidential Threshold
Dengan dihapusnya ambang batas ini, diharapkan akan ada lebih banyak calon presiden dan wakil presiden yang muncul di pemilu mendatang, sehingga memperkaya dinamika dan persaingan dalam pesta demokrasi. Para pemohon berargumen bahwa sistem sebelumnya menciptakan distorsi representasi dan tidak proporsional, mengingat nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan yang berbeda.
Dampak terhadap Dunia Bisnis
Penghapusan presidential threshold dapat memiliki dampak signifikan terhadap dunia bisnis di Indonesia. Dengan adanya lebih banyak calon yang berpotensi menjadi presiden atau wakil presiden, dunia bisnis mungkin akan menghadapi periode ketidakpastian yang lebih tinggi selama musim pemilu, karena berbagai kebijakan dan visi ekonomi yang ditawarkan oleh calon yang lebih beragam. Ini bisa mempengaruhi keputusan investasi dan perencanaan jangka panjang bagi pelaku bisnis.
Selain itu, potensi kebijakan yang lebih inklusif dan representatif dari keanekaragaman calon mungkin membuka peluang baru bagi reformasi kebijakan yang lebih berpihak kepada pertumbuhan ekonomi yang inklusif, memperkuat infrastruktur, dan meningkatkan iklim investasi. Keanekaragaman ide dan platform yang lebih luas juga dapat mendorong inovasi dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor-sektor baru dalam ekonomi, seperti teknologi, energi terbarukan, dan digitalisasi.
Reaksi dan Dampak Politik
Reaksi terhadap keputusan ini telah bervariasi, dengan beberapa pihak menyambut baik pembukaan peluang politik yang lebih besar untuk individu dan partai yang lebih kecil. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa ini bisa mengarah pada fragmentasi politik lebih lanjut, yang mungkin mempersulit pembentukan pemerintahan yang stabil.
Harapan untuk Pemilu yang Lebih Kompetitif dan Ekonomi yang Lebih Dinamis
Penghapusan presidential threshold oleh MK tidak hanya mengubah cara pencalonan presiden dan wakil presiden tetapi juga diharapkan untuk meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia. Ini mungkin juga mempengaruhi kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintahan yang akan datang, potensial mempengaruhi berbagai sektor bisnis. Pemilu 2029 nampaknya akan menjadi ajang yang sangat ditunggu, dengan potensi untuk menjadi salah satu yang paling kompetitif dan inklusif dalam sejarah Indonesia serta memberikan dampak yang luas terhadap kebijakan ekonomi dan pertumbuhan bisnis di masa depan.
Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 62/PUU-XXII/202
“Bahwa terlepas dari penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu, menurut Mahkamah, penetapan besaran atau persentase ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest)
Bahwa apabila diletakkan dalam substansi/materi perumusan Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945, disadari atau tidak, ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berpotensi mengabaikan spirit constitutional engineering yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang secara implisit membuka ruang agar calon presiden dan wakil presiden lebih dari 2 (dua) pasangan calon. Dalam batas penalaran yang wajar, semangat Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 adalah untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden yang mencerminkan dan sekaligus merepresentasikan fakta kebhinekaan Indonesia. Tidak hanya itu, kecenderungan tersebut akan mengarah pada hilangnya hak politik dan kedaulatan rakyat karena hak memilih dalam pemilu presiden dan wakil presiden dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditawarkan kepada pemilih. Oleh karena itu, Mahkamah perlu menempatkan dan sekaligus memberikan prioritas pada jaminan pemenuhan hak konstitusional warga negara (pemilih) untuk mendapatkan calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam melalui kontestasi yang fair dan terbuka yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Sebagai pelindung hak konstitusional warga negara, bagi Mahkamah, pemenuhan hak politik warga negara, in casu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) jauh lebih penting dibandingkan kehendak untuk menyederhanakan partai politik dalam rangka menopang penguatan sistem presidensial. Pemenuhan tersebut menjadi kewajiban bagi Mahkamah dalam rangka perlindungan hak konstitusional warga negara. Tidak hanya itu, penyediaan alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam dapat dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dalam konteks itu, segala pengaturan yang menghalangi rakyat untuk memenuhi hak politik termasuk hak untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang beragam, hal demikian dapat dinilai tidak sejalan dengan upaya pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa selanjutnya, dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon. Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia. Bahkan, jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Artinya, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya. Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum.”
Perintah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 62/PUU-XXII/202
“Sekalipun secara konstitusional terdapat ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua (second round), jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU 7/2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden;
2) Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional;
3) Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih;
4) Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya; dan
5) Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).”
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)