“Putusan Mahkamah Agung Nomor 222 K/TUN/TF/2021 menyoroti sengketa ganti rugi dalam proyek Tol Cengkareng dan pentingnya batas kewenangan peradilan.”
Pembangunan infrastruktur kerap menjadi tulang punggung kemajuan sebuah negara. Namun, di balik manfaat besar yang dihadirkan, sering kali muncul persoalan hukum terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Salah satu kasus yang menonjol adalah sengketa ganti rugi pada proyek pembangunan Jalan Tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran, yang mencapai Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 222 K/TUN/TF/2021.
Latar Belakang Sengketa
Kasus ini melibatkan seorang pemilik tanah, Endang Nataliantini, yang menggugat Panitia Pelaksana Pembebasan dan Pengadaan Tanah Kota Tangerang serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek Jalan Tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran. Endang menuntut ganti rugi atas tanahnya seluas 2.000 meter persegi yang digunakan dalam proyek tersebut. Penggugat menyatakan bahwa penggunaan tanah tanpa penyelesaian pembayaran ganti rugi merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).
Pada tingkat pertama, gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang. Namun, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta, yang memutuskan bahwa tindakan tergugat memang melanggar hukum. Kasus ini kemudian mencapai puncaknya di Mahkamah Agung melalui permohonan kasasi dari pihak tergugat.
Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung, dalam Putusan Nomor 222 K/TUN/TF/2021, memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi tergugat dan membatalkan putusan PTTUN Jakarta. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menilai bahwa PTUN tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara ini karena sengketa tersebut berkaitan dengan pembayaran ganti rugi, yang merupakan kewenangan absolut peradilan umum, bukan peradilan tata usaha negara.
Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa sengketa terkait penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016. Berdasarkan aturan tersebut, peradilan tata usaha negara hanya berwenang mengadili keputusan tata usaha negara terkait penetapan lokasi, bukan persoalan pembayaran ganti rugi.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No 222 K/TUN/TF/2021
“Bahwa oleh karena pembangunan jalan tol yang memakai tanah masyarakat, maka secara khusus telah diatur tata cara pembebasan dan pembayaran ganti ruginya sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan terakhir diubah beberapa pasalnya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketentuan lebih lanjut secara khusus diatur pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara yang pada pokoknya mengatur batas kewenangan absolut peradilan umum dan peradilan tata usaha negara hanya berwenang mengadili tentang keputusan tata usaha negara yang lahir dalam proses pembebasan tanah, antara lain berupa keputusan penetapan lokasi, sedangkan tentang penetapan pembayaran ganti rugi merupakan kewenangan absolut peradilan umum”
Implikasi Hukum dari Putusan
Putusan ini memberikan pesan penting bagi para pihak yang terlibat dalam proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Pertama, pentingnya memahami batas kewenangan peradilan dalam menyelesaikan sengketa pengadaan tanah. Ketika sengketa berkaitan dengan pembayaran ganti rugi, maka pihak yang merasa dirugikan harus mengajukan gugatan ke peradilan umum.
Kedua, putusan ini juga menggarisbawahi perlunya kepatuhan pada prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam pengadaan tanah. Tindakan pemerintah yang tidak sesuai dengan aturan dapat menimbulkan sengketa hukum yang berlarut-larut, seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Ketiga, kasus ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung tetap konsisten dalam menjalankan perannya sebagai penjaga supremasi hukum, dengan memastikan bahwa proses pengadaan tanah dilakukan sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.
Pelajaran bagi Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Sebagai negara yang terus mendorong pembangunan infrastruktur, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyelaraskan kebutuhan pembangunan dengan perlindungan hak-hak masyarakat. Kasus ini memberikan pelajaran penting bahwa pembangunan yang sukses memerlukan landasan hukum yang kuat dan pengelolaan yang akuntabel.
Melalui putusan ini, Mahkamah Agung menegaskan pentingnya membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan tanah, dengan memastikan bahwa setiap sengketa ditangani sesuai hukum yang berlaku. Dengan demikian, diharapkan tidak hanya pembangunan fisik yang maju, tetapi juga penegakan keadilan yang semakin kokoh.
Putusan Nomor 222 K/TUN/TF/2021 adalah salah satu dari banyak kasus yang menunjukkan kompleksitas pengadaan tanah di Indonesia. Namun, ini juga menjadi bukti bahwa sistem hukum Indonesia mampu memberikan solusi yang adil dan transparan, meskipun menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaannya.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email