Ketika Kepercayaan Memudar di Meja Hijau: Kasus Penipuan yang Berawal dari Persahabatan

“Kasus penipuan di Makassar ini mengajarkan pentingnya kontrak tertulis dalam hubungan bisnis berbasis kepercayaan, agar tidak berakhir di ranah pidana.”

Kepercayaan adalah salah satu fondasi penting dalam menjalankan hubungan antar manusia. Dalam dunia bisnis, hubungan kepercayaan sering kali menjadi jembatan untuk mencapai kesuksesan bersama. Namun, apa yang terjadi jika kepercayaan itu dirusak oleh salah satu pihak? Kisah berikut dari Kota Makassar menyoroti bagaimana sebuah perjanjian yang dibangun di atas dasar persahabatan berakhir tragis di ranah hukum pidana.

Sebuah Perjanjian Tanpa Perlindungan Hukum

Kisah ini bermula dari hubungan pertemanan lama antara A dan B, yang telah sering kali bekerja sama dalam berbagai proyek. A, seorang pekerja di kantor dinas pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan, suatu hari mendapatkan proyek besar dengan nilai Rp8 miliar. Namun, A kekurangan dana untuk memulai proyek tersebut, dan di sinilah persahabatan mereka diuji.

A mendekati B untuk meminjam dana sebesar Rp2 miliar. Dengan janji menggiurkan, A menawarkan keuntungan yang cukup besar dalam bentuk bunga bank yang akan dikembalikan bersama modal dalam waktu tujuh bulan. A bahkan memberikan B beberapa lembar Bilyet Giro (BG) sebagai jaminan, tanpa adanya kontrak atau perjanjian hukum yang mengikat keduanya. B, yang percaya pada A karena hubungan pertemanan dan rekam jejak kerjasama mereka sebelumnya, setuju untuk meminjamkan uang tersebut.

Sekitar bulan April 2014, B menyetorkan uang sejumlah Rp2 miliar ke rekening A. Sebagai imbalan, A menyerahkan BG senilai Rp1,3 miliar yang dijanjikan akan cair pada bulan Desember 2014. Namun, ketika tanggal jatuh tempo tiba, B mendapati bahwa saldo dalam BG tersebut tidak mencukupi untuk dikliring, dan yang lebih mengejutkan lagi, A sulit dihubungi.

Dari Harapan Keuntungan hingga Gugatan Hukum

Perasaan kecewa dan dikhianati membuat B akhirnya melaporkan A atas tuduhan penipuan. B bukan hanya merasa telah dirugikan secara finansial, tetapi juga dikhianati oleh seorang teman yang selama ini dipercayainya. Gugatan wanprestasi diajukan, dan kasus ini akhirnya dibawa ke ranah pidana dengan tuduhan penipuan.

Di Pengadilan Negeri Makassar, dalam putusan tingkat pertama, A dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Majelis Hakim menyatakan bahwa tindakan A bukanlah perbuatan pidana, tetapi masuk ke dalam ranah perdata karena tidak ada niat jahat yang terbukti. Namun, Jaksa Penuntut Umum tidak puas dengan hasil ini. Mereka segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung Membalikkan Putusan

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan bahwa perbuatan A memenuhi unsur penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mahkamah menilai bahwa sejak awal, A memiliki itikad buruk dengan menggunakan rangkaian kebohongan untuk meyakinkan B meminjamkan uang. Akhirnya, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan menghukum A dengan pidana penjara selama dua tahun.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menegaskan bahwa meskipun A dan B tidak memiliki kontrak tertulis, tindakan A menunjukkan adanya niat jahat yang memenuhi unsur tindak pidana. Keuntungan yang dijanjikan A kepada B dinilai tidak masuk akal, dan tindakan A yang sulit dihubungi setelah jatuh tempo BG juga menjadi bukti tambahan bahwa perbuatan ini lebih dari sekadar wanprestasi biasa.

Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 211 K/PID/2017

“Meskipun hubungan hukum antara Terdakwa dan Saksi Korban, awalnya didasarkan pada pinjam-meminjam uang sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, sebelum pinjaman tersebut terjadi, Terdakwa sudah memiliki itikad tidak baik terhadap Saksi Korban. Demi mendapatkan pinjaman dana, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum, Terdakwa menggunakan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan untuk membujuk Saksi Korban agar bersedia meminjamkan uang sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), dengan klaim bahwa Terdakwa akan memenangkan proyek senilai Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Bahkan, pada awalnya Terdakwa menyatakan dengan yakin bahwa dirinya akan mendapatkan proyek sebesar Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah) karena akan mengawal proyek tersebut.

Terdakwa juga berjanji akan memberikan keuntungan di atas bunga bank, sehingga Saksi Korban terperdaya dan akhirnya mentransfer uang Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ke rekening BRI Terdakwa. Namun, kenyataannya proyek yang dimenangkan Terdakwa hanya senilai Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Pada awalnya, Terdakwa berjanji akan membayar utangnya pada akhir Desember 2014. Untuk meyakinkan Saksi Korban, Terdakwa menerbitkan enam lembar Bilyet Giro dengan total Rp4.045.000.000,00 (empat miliar empat puluh lima juta rupiah). Namun, ketika jatuh tempo, Bilyet Giro tersebut tidak bisa dicairkan karena saldonya tidak mencukupi. Terdakwa kemudian meminta penundaan hingga Juli 2015, dan kemudian kembali meminta penundaan hingga Januari 2016. Setelah janji-janji pengembalian utang tak ditepati, Terdakwa menjadi sulit bahkan tidak bisa dihubungi lagi.

Terdakwa meminjam uang sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan berjanji akan membayar sebesar Rp4.045.000.000,00 (empat miliar empat puluh lima juta rupiah) kepada korban. Keuntungan yang dijanjikan Terdakwa tidak masuk akal dan tidak rasional untuk dipenuhi, sehingga terbukti bahwa janji tersebut hanyalah kebohongan dan tipu muslihat. Ternyata, semua Bilyet Giro yang diberikan Terdakwa kosong dan tidak memiliki dana.”

Kaidah Hukum dari Putusan Nomor 211 K/PID/2017

“Suatu perbuatan yang awalnya tampak sebagai wanprestasi dalam hubungan perdata dapat beralih ke ranah pidana jika terdapat niat jahat, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan yang dilakukan sejak awal perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan.”

Pelajaran dari Sebuah Persahabatan yang Terkoyak

Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya melindungi diri secara hukum, bahkan dalam hubungan yang didasari kepercayaan. Sebuah kontrak tertulis bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga sebuah bentuk perlindungan untuk kedua belah pihak jika ada yang melanggar kesepakatan.

Sering kali, orang mengabaikan pentingnya membuat perjanjian resmi ketika berurusan dengan orang yang dikenal dekat, seperti teman atau keluarga. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa hubungan yang baik sekalipun bisa berubah menjadi mimpi buruk ketika tidak ada perlindungan hukum yang jelas.

Epilog: Menimbang Wanprestasi dan Penipuan

Di mata hukum, wanprestasi dan penipuan mungkin tampak serupa, tetapi keduanya memiliki perbedaan mendasar. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana disepakati, sedangkan penipuan melibatkan niat buruk sejak awal dengan tujuan untuk menipu atau merugikan pihak lain.

Dalam kasus ini, meskipun awalnya terlihat seperti kasus wanprestasi, adanya rangkaian kebohongan dan janji-janji palsu yang diberikan A kepada B menunjukkan bahwa perbuatan ini masuk ke dalam kategori penipuan. Hal ini menjadi peringatan bagi semua pihak untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan perjanjian, baik secara formal maupun informal.

Kepercayaan adalah sesuatu yang mahal, tetapi kepercayaan tanpa perlindungan hukum dapat berakhir dengan kehilangan yang lebih besar.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading