“Janji yang tak terbayar dalam sebuah perjanjian di Jawa Timur berujung gugatan perdata, dengan implikasi hukum yang mempertegas pentingnya kepatuhan kontrak.”
Dalam ranah hukum perdata Indonesia, putusan pengadilan sering kali menjadi refleksi dari upaya sistem peradilan untuk menyeimbangkan kepastian hukum dan rasa keadilan. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya memberikan gambaran menarik tentang bagaimana hakim mengatasi permasalahan hukum yang kompleks, khususnya dalam kasus perbuatan melawan hukum yang digabungkan dengan wanprestasi. Putusan ini memperlihatkan dinamika penegakan hukum di tingkat banding, dengan pertimbangan yang memadai untuk mencapai putusan yang adil.
Latar Belakang Kasus
Perkara ini bermula dari gugatan yang diajukan oleh sekelompok penggugat terhadap tergugat atas tuduhan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan wanprestasi. Para penggugat menuduh tergugat gagal memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, majelis hakim memutuskan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan memerintahkan tergugat untuk mengembalikan sejumlah uang kepada para penggugat.
Namun, tergugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya, dengan alasan bahwa putusan di tingkat pertama tidak mempertimbangkan eksepsi yang diajukan secara memadai dan bahwa petitum yang diajukan penggugat bersifat kabur.
Pertimbangan Hukum oleh Pengadilan Tinggi
Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi Surabaya menegaskan beberapa poin penting. Pertama, hakim menyatakan bahwa penggabungan gugatan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum tidak membuat gugatan tersebut menjadi kabur. Hal ini sesuai dengan Rumusan Kamar Perdata dalam SEMA No. 1 Tahun 2022, yang menyatakan bahwa posita gugatan yang menguraikan hubungan hukum perjanjian tetapi meminta tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, tidak menyebabkan gugatan menjadi kabur.
Selain itu, Pengadilan Tinggi memperbaiki pertimbangan hukum dalam amar putusan, dengan menolak eksepsi tergugat yang menyatakan bahwa gugatan penggugat kurang pihak. Hakim menegaskan bahwa notaris yang membuat perjanjian jual beli tidak wajib ditarik sebagai pihak dalam perkara ini, karena tidak ada tuntutan dalam petitum yang mengharuskan notaris melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.
Penetapan Ganti Rugi dan Amar Putusan
Salah satu poin krusial dalam putusan ini adalah penetapan ganti rugi. Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya memperhitungkan besaran ganti rugi materiil yang harus dibayarkan oleh tergugat kepada para penggugat. Ganti rugi dihitung berdasarkan bunga uang yang telah disetorkan para penggugat sebagai angsuran pembayaran, dengan bunga moratoir sebesar 6% per tahun atau setara dengan 0,5% per bulan.
Pengadilan Tinggi juga menolak tuntutan ganti rugi immateriil yang diajukan oleh penggugat. Penolakan ini didasarkan pada Rumusan Kamar Perdata Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa dalam kasus yang mencampurkan gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, hanya kerugian materiil yang dapat dikabulkan.
Amar putusan Pengadilan Tinggi Surabaya memperkuat putusan Pengadilan Negeri dengan beberapa perbaikan. Tergugat diperintahkan untuk mengembalikan uang yang telah disetorkan oleh para penggugat, dengan besaran ganti rugi yang telah ditetapkan dalam putusan.
Pendapat PT Surabaya pada Putusan Nomor 540/PDT/2023/PT SBY
“Menimbang, bahwa memenuhi kewajiban yang seharusnya dilakukan dalam suatu perjanjian merupakan suatu kepatutan, maka apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka yang bersangkutan dapat dikatagorikan telah melanggar kepatutan, oleh karena melanggar kepatutan merupakan salah satu kriteria untuk dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan telah menimbulkan kerugian pada orang lain”
Implikasi Hukum dari Putusan Ini
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya ini memiliki implikasi penting bagi praktisi hukum dan masyarakat luas. Pertama, putusan ini menegaskan bahwa penggabungan gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dapat diterima, asalkan posita dan petitum disusun dengan jelas dan konsisten. Hal ini memberikan panduan bagi para advokat dalam menyusun gugatan yang lebih efektif dan tidak rentan terhadap eksepsi.
Kedua, penetapan ganti rugi dalam perkara ini menunjukkan bagaimana pengadilan menggunakan pendekatan yang hati-hati dan berbasis pada bukti dalam menentukan besaran kerugian. Dengan menetapkan bunga moratoir yang wajar, pengadilan berupaya memberikan kompensasi yang adil bagi pihak yang dirugikan tanpa membebani pihak tergugat secara berlebihan.
Ketiga, putusan ini mencerminkan upaya sistem peradilan untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan rasa keadilan. Dengan menolak eksepsi yang diajukan tergugat dan memperkuat putusan di tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Surabaya menunjukkan bahwa proses banding bukanlah sekadar formalitas, tetapi merupakan mekanisme untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)