“Mahkamah Agung memutuskan perusahaan harus membayar sisa fee nikel ore sebesar $1,450,965.3 USD. Ini menegaskan pentingnya menghormati perjanjian bisnis yang telah dilakukan.”
Dalam dunia hukum, sebuah kasus tidak hanya sekadar hitam dan putih. Sebuah keputusan yang diberikan oleh Mahkamah Agung dengan Nomor 534 PK/Pdt/2018, menjadi bukti nyata bahwa keadilan bisa saja tertunda, namun pada akhirnya tetap ditemukan. Kasus ini melibatkan seorang seorang warga negara dengan suatu korporasi.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula dari Perjanjian Hasil Kerja (Fee) yang ditandatangani pada 1 Maret 2012. Dalam perjanjian tersebut, sebuah perusahaan berkomitmen untuk membayar fee sebesar $0,75 USD per metric ton atas setiap pengapalan atau ekspor nikel ore kepada si Fulan. Pembayaran yang awalnya berjalan lancar dengan total $201,041, kemudian terhenti, meninggalkan sisa pembayaran sebesar $1,450,965.3 USD.
Upaya untuk menagih sisa pembayaran ini tidak berjalan mulus. Surat teguran pertama dan kedua tidak mendapat respon yang memuaskan, sehingga si Fulan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Makassar. Namun, keputusan pengadilan tidak berpihak kepada Penggugat, yang kemudian mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Pertimbangan Hukum
Mahkamah Agung dalam putusannya mempertimbangkan beberapa hal penting yang mendasari keputusannya. Pertama, novum yang diajukan oleh Penggugat menunjukkan bahwa meskipun perjanjian awalnya ditandatangani secara pribadi oleh direktur perusahaan, pihak perusahaan tersebut telah melaksanakan perjanjian tersebut dengan melakukan penambangan dan membayar sebagian fee yang telah disepakati. Ini menjadi bukti nyata bahwa perusahaan mengakui dan menerima perjanjian tersebut.
Mahkamah Agung menegaskan bahwa perjanjian yang telah dijalankan oleh perusahaan dan memberikan manfaat kepada perusahaan harus dianggap sah dan mengikat. Dengan demikian, perusahaan wajib memenuhi sisa pembayaran yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Mahkamah Agung akhirnya memutuskan bahwa perusahaan berhutang kepada Penggugat sebesar $1,450,965.3 USD, dan mengharuskan pembayaran tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah sesuai kurs tengah Bank Indonesia pada saat pembayaran dilakukan.
Dengan putusan ini, Mahkamah Agung menegaskan pentingnya menghormati perjanjian yang telah dilakukan dan memastikan bahwa semua pihak memenuhi kewajiban yang telah disepakati.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Perkara No 534 PK/Pdt/2018
“Bahwa novum yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali bersifat menentukan, karena meskipun secara formil HTAN pada saat perjanjian ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 1 Maret 2012 bertindak selaku pribadi, akan tetapi perjanjian tersebut telah dilaksanakan oleh PT. CSM dengan cara melakukan penambangan biji nikel ore dan pihak PT CSM telah membayar (fee) yang semula diperjanjikan oleh HTAN dengan Penggugat meskipun baru sebagian.
Bahwa oleh karena perjanjian tersebut telah terlaksana yaitu dengan dilakukan penambangan dan pengoperasian biji nikel ore oleh PT CSM dan melakukan pembayaran atas Sebagian fee yang diperjanjikan, adalah adil bila pihak tergugat i.c. PT. CSM, melanjutkan membayar seluruh fee yang diperjanjikan yang menjadi hak Penggugat, karena PT. CSM – harus dianggap – telah membenarkan dan menyetujui perjanjian tersebut.”
Keadilan yang Ditegakkan
Keputusan Mahkamah Agung ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum, keadilan mungkin tertunda, tetapi pada akhirnya akan ditegakkan. Kasus ini juga memberikan pelajaran penting bagi perusahaan dan individu dalam menjalankan perjanjian bisnis. Ketika sebuah perjanjian memberikan manfaat, perusahaan harus siap untuk memenuhi semua komitmen yang telah disepakati, tidak peduli perubahan dalam kepemimpinan atau keadaan lainnya.
Putusan ini bukan hanya sekedar kasus hukum yang diselesaikan di meja hijau, tetapi juga merupakan refleksi dari bagaimana hukum seharusnya bekerja dalam masyarakat yang adil. Ini adalah kemenangan bagi pihak yang dirugikan dan pengingat bahwa komitmen dan integritas dalam bisnis tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mahkamah Agung dengan tegas menunjukkan bahwa hukum adalah pelindung terakhir dari keadilan. Dengan putusan ini, harapannya adalah tidak ada lagi pihak yang mencoba menghindari tanggung jawab mereka dengan dalih teknis. Keadilan mungkin berjalan lambat, tetapi ia tetap berjalan maju, menuntut agar semua pihak bermain sesuai aturan yang telah disepakati.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)