“RKUHAP 2025 memperkenalkan mekanisme keadilan restoratif sebagai pendekatan yang mengedepankan pemulihan daripada penghukuman. Melalui keterlibatan korban dan pelaku, keadilan menjadi lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan hubungan serta kerugian yang ditimbulkan tindak pidana.”
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi Maret 2025 menandai reformasi besar dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Di tengah tuntutan akan sistem hukum yang lebih berkeadilan dan efisien, pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dimunculkan sebagai opsi alternatif yang mengutamakan penyembuhan dan pemulihan, bukan sekadar penghukuman.
Keadilan restoratif bukan hanya slogan baru dalam hukum acara. Ia hadir sebagai jawaban atas ketimpangan relasi hukum formal antara korban dan pelaku. Dalam skema ini, korban tidak dilupakan, dan pelaku tidak semata dikriminalisasi, tetapi keduanya diajak duduk bersama untuk menyelesaikan konflik secara damai dan adil.
Definisi dan Tujuan Keadilan Restoratif dalam RKUHAP 2025
Mekanisme keadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan korban, pelaku, keluarga dari kedua pihak, dan unsur masyarakat yang relevan. Tujuannya adalah untuk memulihkan keadaan semula, baik secara materiel maupun relasional. Pendekatan ini dapat diterapkan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan di pengadilan.
Namun, keadilan restoratif tidak berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Pengecualian diberikan pada perkara-perkara berat seperti terorisme, korupsi, tindak pidana terhadap keamanan negara, atau kejahatan yang diancam pidana minimum khusus dan tindak pidana tanpa korban. Pendekatan ini lebih tepat untuk kasus pidana ringan dan pelaku yang baru pertama kali berhadapan dengan hukum.
Syarat Penerapan dan Proses di Luar Pengadilan
Untuk dapat diterapkan, keadilan restoratif mensyaratkan tiga hal: pelaku harus merupakan pelanggar pertama, telah terjadi pemulihan keadaan semula, dan telah tercapai kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku. Pemulihan ini bisa berupa permaafan, pengembalian barang, ganti rugi, pembayaran biaya, atau perbaikan kerusakan akibat tindak pidana.
Proses perdamaian dapat diinisiasi oleh pelaku, korban, keluarga, maupun aparat penegak hukum. Jika kesepakatan dicapai, penyelidik, penyidik, atau penuntut umum akan menerbitkan surat penghentian proses hukum. Surat ini wajib disampaikan ke hakim dalam waktu tiga hari untuk memperoleh penetapan yang sah. Penegasan ini penting untuk menjamin bahwa proses damai tetap memiliki legitimasi yuridis.
Perdamaian di Pengadilan dan Konsekuensi Hukumnya
Restorative justice tidak hanya terjadi di luar pengadilan. Dalam ruang sidang, perdamaian antara terdakwa dan korban juga diakomodasi. Jika kesepakatan dicapai, hal itu dapat menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang lebih ringan atau bahkan menggantinya dengan pidana pengawasan.
Namun, penting dicatat bahwa pengadilan akan menilai secara ketat validitas perdamaian tersebut, terutama untuk memastikan tidak ada relasi kuasa yang timpang antara korban dan terdakwa. Perlindungan terhadap korban tetap menjadi prioritas utama dalam setiap penerapan keadilan restoratif.
Restitusi, Rehabilitasi, dan Pemulihan Hak Korban
Selain menyelesaikan perkara, mekanisme ini juga memberikan jalan bagi pemulihan hak korban. Restitusi, yakni pembayaran kerugian materiel dan/atau imateriel oleh pelaku, menjadi bagian penting dari proses ini. Penetapan atau putusan pengadilan diperlukan untuk mewajibkan restitusi, memastikan bahwa pemulihan hak korban tidak semata bersifat simbolis.
Rehabilitasi bagi pihak yang dirugikan secara sosial akibat peristiwa pidana juga menjadi bagian dari semangat restoratif. Dalam konteks ini, RKUHAP menempatkan pemulihan sebagai hak, bukan semata-mata hasil belas kasih.
Relevansi Sosial dan Budaya: Musyawarah sebagai Solusi
Mekanisme keadilan restoratif selaras dengan budaya hukum masyarakat Indonesia yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Ini bukan hanya pendekatan hukum, tapi juga pendekatan kultural yang berakar kuat dalam nilai gotong royong dan penyelesaian konflik melalui perundingan.
Penerapan skema ini dapat mengurangi beban pengadilan, menekan biaya proses hukum, dan mencegah efek kriminalisasi jangka panjang terhadap pelaku, terutama anak dan remaja. Di sisi lain, korban juga mendapatkan ruang untuk menyuarakan kebutuhan mereka—hal yang sering kali terabaikan dalam sistem pidana konvensional.
Kesimpulan: Mewujudkan Keadilan yang Lebih Inklusif dan Manusiawi
RKUHAP 2025 membawa angin segar dalam penegakan hukum pidana Indonesia. Dengan membuka ruang bagi keadilan restoratif, sistem peradilan tidak lagi semata-mata berorientasi pada pembalasan, tetapi juga pada pemulihan. Ini adalah bentuk keadilan yang lebih manusiawi, berorientasi pada hasil, dan memberi ruang bagi peran masyarakat dalam menyelesaikan konflik hukum.
Dengan penetapan hakim sebagai filter, serta perlindungan hak-hak korban sebagai pilar utama, keadilan restoratif bukanlah pengurangan keadilan, melainkan penguatan hakikatnya: mengembalikan keutuhan sosial, menyembuhkan luka, dan membangun kembali kepercayaan.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email