“RKUHAP 2025 memperluas cakupan pemaknaan terhadap putusan pengadilan pidana di Indonesia, tidak hanya dalam bentuk hukuman, tetapi juga dalam kerangka keadilan, pemulihan, dan pengawasan. Artikel ini mengulas bagaimana putusan dijalankan dan siapa yang menjamin bahwa hukum benar-benar bekerja.”
Menimbang Keadilan: Ragam Putusan dalam RKUHAP 2025
Di balik sidang terbuka yang menjadi puncak drama ruang peradilan, terdapat satu elemen yang menjadi titik balik: putusan hakim. Dalam RKUHAP versi Maret 2025, putusan tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai bentuk penghukuman, melainkan mencerminkan cara negara menjalankan hukum secara berkeadilan. Ada putusan pemidanaan yang menjatuhkan pidana, putusan bebas yang membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, hingga putusan lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatan yang terbukti bukan merupakan tindak pidana. Namun, satu inovasi penting dalam naskah baru ini adalah Putusan Pemaafan Hakim, di mana terdakwa dinyatakan bersalah, tetapi hakim memutuskan tidak menjatuhkan pidana atas dasar kemanusiaan.
Putusan jenis ini tidak hanya berbasis pada apa yang dilakukan oleh terdakwa, tetapi juga pada siapa terdakwa itu, dalam konteks sosial dan moral yang menyertainya. Jika perbuatan tergolong ringan, pelaku menunjukkan penyesalan, dan konteksnya tidak menimbulkan keresahan publik, maka hakim diberi ruang untuk menyatakan: negara tidak perlu menghukum. Dalam konteks seperti ini, keadilan tidak terletak pada balasan, tetapi pada pemulihan.
Siapa yang Bertugas Menjalankan Putusan?
Setelah palu diketok, siapa yang memastikan bahwa putusan itu bukan sekadar naskah hukum yang dibacakan di ruang sidang?
Jawabannya adalah Jaksa Penuntut Umum. Ia bertugas melaksanakan setiap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mulai dari membebaskan terdakwa yang diputus bebas, menyerahkan barang bukti kepada pihak yang berhak, mengembalikan aset hasil tindak pidana, hingga melelang harta korporasi yang dihukum karena tidak membayar restitusi. Bahkan dalam hal restitusi terhadap korban, jaksa bertanggung jawab membuat berita acara dan memastikan kewajiban dipenuhi.
Namun, tanggung jawab itu tidak berhenti di tangan jaksa saja. RKUHAP 2025 memperkenalkan kembali dengan lebih kuat peran Hakim Pengawas dan Pengamat. Ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk masa jabatan dua tahun, hakim ini bertugas mengawasi bahwa putusan benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Mereka juga mengamati perilaku narapidana selama menjalani pidana, mencatat informasi dari lembaga pemasyarakatan, dan jika perlu, berdiskusi langsung dengan kepala lapas untuk mengevaluasi pendekatan pembinaan.
Dimensi Baru Pengawasan: Kolaboratif dan Akuntabel
Salah satu pembaruan penting adalah bahwa hakim pengawas dan pengamat tidak bekerja sendiri. Mereka melibatkan pihak-pihak yang relevan, seperti penyidik, advokat yang mewakili kepentingan keluarga terpidana, korban, serta kementerian keuangan jika berkaitan dengan pengelolaan barang rampasan negara. Ini adalah bentuk akuntabilitas yang konkret: keadilan bukan hanya urusan antara negara dan pelaku, tetapi juga menyangkut korban dan masyarakat luas.
Setiap tindakan, mulai dari pelelangan hingga pemulihan barang bukti, dicatat dalam register pengawasan dan pengamatan yang wajib diisi setiap hari kerja oleh panitera dan ditandatangani hakim pengawas. Ini adalah mekanisme administrasi yang menjadi bukti bahwa hukum tidak hanya dijatuhkan, tetapi juga diikuti, dikawal, dan dievaluasi.
Putusan Pemaafan: Hukum yang Membebaskan Tanpa Mengabaikan Kebenaran
Salah satu putusan yang jarang dibahas namun mencerminkan jiwa progresif hukum acara adalah Putusan Pemaafan Hakim. Putusan ini mengakui bahwa terdakwa bersalah, tetapi hakim tidak menjatuhkan hukuman. Dalam kerangka RKUHAP 2025, pemaafan ini dijatuhkan bila perbuatan dianggap ringan, atau pelaku memiliki kondisi pribadi dan sosial yang patut dipertimbangkan.
Namun demikian, karena tidak ada pidana dijatuhkan, putusan ini tidak memicu mekanisme pengawasan terhadap narapidana, seperti pada pidana penjara. Meskipun demikian, jika terdakwa sempat ditahan, jaksa tetap wajib melepaskan yang bersangkutan setelah putusan dibacakan. Barang bukti pun harus segera dikembalikan, kecuali yang wajib dirampas berdasarkan undang-undang.
Kesimpulan: Keadilan Tidak Berakhir di Sidang
RKUHAP 2025 menegaskan satu hal: putusan hakim bukanlah titik akhir, melainkan titik tolak keadilan yang lebih luas. Tugas negara tidak selesai saat vonis dibacakan, tapi justru dimulai—dalam bentuk pelaksanaan yang tertib, pengawasan yang akuntabel, dan pemulihan yang berkeadilan.
Dalam sistem ini, hukum tidak hanya dijalankan, tetapi diawasi agar dijalankan dengan benar. Dan pada akhirnya, keadilan bukan soal hukuman semata, melainkan soal menjamin bahwa putusan pengadilan menjelma sebagai keadaban negara.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email