“Debat panas antara Rocky Gerung dan Silfester Matutina di iNews TV membahas prinsip hukum pacta sunt servanda, yang menekankan pentingnya mematuhi perjanjian yang sah, namun perdebatan ini juga mengeksplorasi batasan dan pentingnya keadilan dalam praktik kontrak.”
Pada 3 September 2024, program Rakyat Bersuara yang disiarkan di iNews TV menjadi ajang diskusi hangat antara Rocky Gerung, akademisi dan intelektual kritis, serta Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet). Dalam perdebatan tersebut, Rocky menyinggung prinsip hukum pacta sunt servanda untuk menegaskan pentingnya menghormati kesepakatan yang telah dibuat, sementara Matutina menganggap pandangan ini terlalu teoretis untuk diterapkan dalam praktik politik sehari-hari.
Namun, yang menarik dari perdebatan ini adalah bagaimana Rocky Gerung berusaha menekankan prinsip-prinsip hukum dasar yang berlaku, tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan kontraktual, yang dalam hal ini ditekankan pada prinsip pacta sunt servanda.
Apa Itu Pacta Sunt Servanda?
Pacta sunt servanda adalah prinsip hukum yang menegaskan bahwa setiap perjanjian yang sah harus dihormati dan dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat. Prinsip ini merupakan fondasi dari hukum kontrak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Artinya, kontrak yang telah dibuat dengan persetujuan bebas dan itikad baik tidak bisa dilanggar begitu saja oleh salah satu pihak.
Namun, meskipun prinsip ini menuntut agar perjanjian dipatuhi, terdapat beberapa batasan yang diberlakukan untuk melindungi pihak yang mungkin berada dalam posisi lemah. Dalam hal ini, itikad baik dan doktrin penyalahgunaan keadaan memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan keadilan.
Penyalahgunaan Keadaan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3431 K/Pdt/1985
Prinsip pacta sunt servanda tidak dapat diterapkan secara mutlak tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi dari para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian. Hal ini tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3431 K/Pdt/1985, di mana Mahkamah Agung memutuskan bahwa bunga pinjaman yang sangat tinggi (10% per bulan) bertentangan dengan prinsip kepatutan dan keadilan, terutama karena tergugat adalah seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan tetap.
Mahkamah Agung menilai bahwa situasi tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan keadaan, di mana salah satu pihak dalam perjanjian (pemberi pinjaman) memanfaatkan keadaan sulit pihak lain (peminjam) untuk menetapkan syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kasus ini, Mahkamah menurunkan bunga menjadi 1% per bulan dan memutuskan bahwa bunga yang telah dibayarkan sebelumnya harus dianggap sebagai pembayaran pokok. Ini menunjukkan bahwa perjanjian yang dibuat harus diimbangi dengan pertimbangan keadilan dan kepatutan, terutama ketika salah satu pihak berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 3431 K/Pdt/1985 Tahun 1985
“Bahwa jika diperhatikan pinjam meminjam ini, maka bunga yang ditetapkan sebesar 10% perbulannya adalah terlampau tinggi dan bahkan bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, mengingat tergugat seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain.
Bahwa ketentuan dalam perjanjian untuk menyerahkan buku pembayaran dana pensiun sebagai “jaminan”, juga bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Bahwa tergugat selaku peminjam telah membayar bunga Rp. 400.000,- dari jumlah pinjaman Rp. 540.000,-
Bahwa dalam perkara ini Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan ex aquo et bono, dalam arti adalah Patut dan Adil:
Bila bunga pinjaman ditetapkan 1% perbulan, sehingga yang harus dibayar 10 bulan x Rp. 5.400,- adalah Rp. 54.000,-. Bunga yang telah dibayar kepada penggugat Rp. 400.000,- haruslah dianggap sebagai pembayaran pokok pinjaman. Sehingga sisa pinjaman tergugat pada penggugat adalah Rp 140.000,- plus bunga Rp. 54.000,- adalah Rp. 194.000,-
Bahwa dengan pertimbangan diatas, Tergugat dihukum membayar hutangnya kepada Penggugat Rp. 194.000,-“
Kewenangan Hakim untuk Mencampuri Isi Perjanjian: Putusan Mahkamah Agung No. 1904 K/Sip/1982
Selain itu, kekuasaan hakim untuk mencampuri isi suatu perjanjian demi mencapai keadilan lebih lanjut ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1904 K/Sip/1982. Putusan ini menggariskan bahwa hakim memiliki kewenangan untuk memeriksa dan bahkan mengubah ketentuan dalam perjanjian jika ditemukan unsur ketidakadilan atau penyalahgunaan keadaan dalam isi perjanjian tersebut.
Putusan ini sangat penting dalam hukum perdata Indonesia karena memberikan otoritas kepada hakim untuk memastikan bahwa perjanjian yang dibuat tidak merugikan salah satu pihak secara tidak adil. Dalam konteks ini, hakim dapat melakukan intervensi terhadap isi perjanjian jika ditemukan bahwa perjanjian tersebut dibuat tanpa itikad baik atau melanggar prinsip keadilan. Dengan kata lain, meskipun prinsip pacta sunt servanda mewajibkan perjanjian untuk dipatuhi, hakim memiliki wewenang untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut adil dan tidak mengeksploitasi pihak yang lebih lemah.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 3431 K/Pdt/1985 Tahun 1985
“Walaupun perjanjian dalam suatu akta notaris , dimana seseorang memberi kuasa kepada orang lain, untuk menjual rumah sengketa kepada pihak ketiga maupun kepada dirinya sendiri, dianggap sah, namun mengingat riwayat terjadinya surat kuasa tersebut yang sebelumnya bermula dari surat pengakuan hutang, dengan menjaminkan rumah sengketa yang karena tidak dapat dilunasi pada waktunya, dirubah menjadi kuasa untuk menjual rumah tersebut, maka perjanjian demikian sebenarnya merupakan perjanjian semu untuk menggantikan perjanjian asli yang merupakan hutang piutang.
Karena debitur terikat pula dengan hutang-hutang lainnya yang sudah memperoleh putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka ia berada dalam posisi lemah dan terdesak, sehingga baginya, maka perjanjian berikutnya dapat dikualifikasi sebagai kehendak satu pihak (‘eenzijdig contract”) yang i.c. adalah tidak adil apabila dilakukan sepenuhnya terhadap dirinya”
Hubungan Itikad Baik, Penyalahgunaan Keadaan, dan Kewenangan Hakim
Konsep itikad baik (good faith) dan doktrin penyalahgunaan keadaan saling berkaitan erat dalam praktik hukum kontrak. Itikad baik menuntut agar para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian bertindak secara jujur dan adil, tanpa memanfaatkan situasi pihak lain. Sementara itu, doktrin penyalahgunaan keadaan berfungsi sebagai pelindung bagi pihak yang berada dalam situasi tidak menguntungkan dan dipaksa menerima syarat-syarat yang tidak adil.
Dalam banyak kasus, ketika penyalahgunaan keadaan terjadi, hakim diberi kewenangan untuk melakukan intervensi dalam perjanjian tersebut, seperti yang diuraikan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1904 K/Sip/1982. Hakim dapat menilai apakah suatu perjanjian telah dibuat dengan itikad baik atau apakah salah satu pihak memanfaatkan kondisi pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil. Jika ditemukan adanya penyalahgunaan keadaan, hakim dapat membatalkan atau mengubah syarat-syarat perjanjian tersebut agar lebih adil dan sesuai dengan kepatutan.
Kesimpulan
Debat antara Rocky Gerung dan Silfester Matutina tentang prinsip pacta sunt servanda memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana prinsip-prinsip hukum dasar diterapkan dalam kehidupan nyata. Meskipun pacta sunt servanda mengharuskan perjanjian untuk dipatuhi, penting untuk mempertimbangkan elemen lain seperti itikad baik dan doktrin penyalahgunaan keadaan.
Putusan Mahkamah Agung No. 3431 K/Pdt/1985 dan Putusan No. 1904 K/Sip/1982 menunjukkan bahwa perjanjian tidak bisa ditegakkan secara kaku tanpa memperhatikan kondisi yang memengaruhi para pihak. Keadilan dan kepatutan harus dijaga dalam setiap perjanjian, dan hakim memiliki wewenang untuk mencampuri isi perjanjian jika ditemukan adanya ketidakadilan atau penyalahgunaan keadaan.
Dengan demikian, penerapan prinsip pacta sunt servanda dalam hukum Indonesia selalu harus diimbangi dengan penegakan itikad baik, penghindaran penyalahgunaan keadaan, serta kewenangan hakim untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)