Sembilan Perbedaan Signifikan antara Rancangan KUHAP 2025 dan UU No 8 Tahun 1981

“Setelah lebih dari empat dekade diberlakukan, UU No 8 Tahun 1981 dinilai tidak lagi relevan dengan dinamika sosial, perkembangan teknologi, dan standar hak asasi manusia. Rancangan KUHAP 2025 hadir membawa semangat reformasi untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih modern dan berkeadilan. Apa saja perbedaan paling mencolok antara keduanya?”

Dari Revisi Norma Lama Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Modern

Rancangan KUHAP versi Maret 2025 disusun sebagai respon terhadap kebutuhan hukum acara pidana yang lebih responsif terhadap tantangan zaman. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 telah menjadi fondasi proses pidana di Indonesia selama lebih dari empat dekade, namun seiring berjalannya waktu, berbagai kelemahan mulai terlihat—baik dalam perlindungan hak asasi manusia, prosedur yang tidak efisien, hingga minimnya akomodasi terhadap kemajuan teknologi. Rancangan baru ini bertujuan membangun sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan humanis.

Penguatan Hak Bagi Semua Pihak dalam Perkara

Salah satu lompatan besar yang ditawarkan oleh Rancangan KUHAP 2025 adalah perluasan hak subjek hukum dalam perkara pidana. Tidak hanya mengatur hak-hak tersangka dan terdakwa, rancangan ini juga memberikan perhatian pada saksi, korban, penyandang disabilitas, perempuan, hingga orang lanjut usia. Perlindungan mencakup bantuan hukum, pendampingan psikologis, serta fasilitas ramah kelompok rentan. Sebaliknya, UU No 8 Tahun 1981 hanya menyebutkan peran saksi secara umum tanpa merinci kebutuhan kelompok-kelompok rentan.

Keadilan Restoratif: Jalan Baru Penyelesaian Perkara

Konsep keadilan restoratif mendapat porsi penting dalam Rancangan KUHAP 2025. Mekanisme ini memungkinkan penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan syarat tertentu, seperti pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana dan adanya kesepakatan perdamaian dengan korban. Ini adalah terobosan penting dalam mengurangi beban lembaga peradilan dan memulihkan hubungan sosial. UU No 8 Tahun 1981 tidak mengenal mekanisme seperti ini secara eksplisit.

Praperadilan yang Lebih Komprehensif

Rancangan KUHAP 2025 memperluas cakupan praperadilan. Kini, praperadilan bisa digunakan untuk menguji keabsahan berbagai tindakan aparat penegak hukum seperti penetapan tersangka, penyadapan, atau larangan bepergian ke luar negeri. Hal ini menjadi kontrol yudisial penting dalam menjamin proses hukum yang adil. UU No 8 Tahun 1981 memiliki cakupan praperadilan yang terbatas, terutama hanya mencakup penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan.

Restitusi Korban dan Dana Abadi

Untuk pertama kalinya, hak restitusi korban secara eksplisit diatur. Tidak hanya itu, Rancangan KUHAP 2025 juga mengatur pembentukan dana abadi yang digunakan untuk membayar restitusi, ganti kerugian, dan rehabilitasi. Dana ini dikelola secara khusus dan bersumber dari APBN serta pendapatan sah lainnya. Ini menegaskan bahwa negara tidak hanya melindungi hak pelaku, tetapi juga korban kejahatan.

Penyadapan dan Pelarangan Keluar Wilayah: Upaya Paksa yang Baru

RUU ini memasukkan penyadapan dan larangan keluar wilayah sebagai bentuk upaya paksa yang sah, dengan mekanisme perizinan yang ketat dari pengadilan. Dalam praktiknya, hal ini bisa digunakan untuk menangani tindak pidana serius yang berpotensi mengganggu kepentingan publik atau negara. UU No 8 Tahun 1981 belum memasukkan kedua hal ini sebagai bagian dari prosedur hukum formal.

Penetapan Tersangka Lebih Akuntabel

Penetapan tersangka menjadi lebih sistematis dan harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah. Surat penetapan tersangka wajib diberikan kepada pihak bersangkutan, dan penyidik dilarang membuat pernyataan publik yang bisa menimbulkan praduga bersalah. Ketentuan ini menutup celah penyalahgunaan kewenangan yang selama ini kerap menjadi kritik publik terhadap proses penyidikan.

Saksi Mahkota dan Negosiasi Pengurangan Tuntutan

Satu lagi inovasi yang menarik dari Rancangan KUHAP 2025 adalah pengaturan tentang saksi mahkota. Pelaku dengan peran paling ringan bisa mendapatkan keringanan hukuman jika bersedia bekerja sama dan memberikan keterangan terhadap pelaku utama. Ini membuka ruang bagi penegakan hukum yang lebih strategis, khususnya dalam memberantas kejahatan terorganisir.

Era Baru Pembuktian: Bukti Elektronik Diakui

Teknologi informasi kini menjadi bagian integral dari pembuktian pidana. Rancangan KUHAP 2025 menambahkan bukti elektronik dalam daftar alat bukti yang sah, dengan syarat bukti tersebut harus autentik dan diperoleh secara sah. Ini menjadi krusial dalam kasus-kasus kejahatan digital yang semakin kompleks, yang tidak diakomodasi oleh sistem hukum lama.

Banding yang Lebih Substantif

Terakhir, penguatan peran pengadilan tinggi sebagai judex factie menjadi langkah maju dalam pengawasan putusan pengadilan tingkat pertama. Pengadilan tinggi diberi kewenangan untuk memeriksa ulang fakta dan menghadirkan kembali saksi atau ahli jika diperlukan. Penuntut umum juga diwajibkan menyerahkan memori banding secara tertulis, sebuah mekanisme yang memperkuat akuntabilitas.

Menatap Masa Depan Hukum Acara Pidana Indonesia

Dengan segala perubahan ini, Rancangan KUHAP 2025 tidak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga refleksi dari aspirasi bangsa untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, humanis, dan adaptif terhadap zaman. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengimplementasikannya secara konsisten agar tujuan reformasi ini tidak berhenti di atas kertas.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading