“Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Palembang yang menyatakan perbuatan terdakwa terbukti, namun tidak dapat dipidana karena dilakukan untuk membela diri. Kasus ini menjadi tonggak penting dalam penerapan alasan pemaaf dalam hukum pidana Indonesia.”
Perkara ini bermula dari peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang berujung maut. Seorang perempuan menjadi korban pemukulan oleh suaminya, tidak hanya dengan tangan kosong, tetapi juga menggunakan besi bekas pompa. Dalam situasi terdesak dan penuh ancaman, ia mengambil pisau dari atas meja dan menusukkan ke dada suaminya. Tindakan itu menyebabkan suaminya meninggal dunia di tempat.
Jaksa mendakwa perempuan tersebut dengan Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menuntut pidana delapan tahun penjara. Namun, Pengadilan Negeri Sekayu hanya menjatuhkan dua tahun. Ketika perkara dibawa ke tingkat banding, Pengadilan Tinggi Palembang membatalkan putusan PN dan menyatakan terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatannya dilakukan dalam pembelaan terpaksa.
Perbuatan Terbukti, Tapi Tak Dapat Dihukum
Dalam amar putusannya, Pengadilan Tinggi Palembang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa memang terbukti, yakni menusuk suaminya dengan senjata tajam yang menyebabkan kematian. Namun majelis hakim menilai bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam keadaan terpaksa untuk menyelamatkan diri dari kekerasan yang terus-menerus.
Dengan demikian, perbuatan tersebut bukan dibenarkan secara mutlak (alasan pembenar), melainkan dimaafkan secara hukum (alasan pemaaf) karena dilakukan dalam kondisi membela diri dari serangan yang nyata dan membahayakan.
Mahkamah Agung Tegaskan Prinsip Alasan Pemaaf
Jaksa mengajukan kasasi, namun Mahkamah Agung melalui Putusan No. 2542 K/Pid.Sus/2011 menolak permohonan tersebut. Mahkamah menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi telah tepat secara hukum. Tindakan terdakwa memang mengakibatkan kematian, namun dilakukan dalam situasi ancaman nyata terhadap keselamatan jiwanya sendiri.
MA menegaskan bahwa dalam keadaan tertentu, pembelaan diri adalah hak hukum setiap orang. Hukum pidana tidak ditujukan untuk menghukum setiap perbuatan yang melanggar, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan motif, terutama ketika perbuatan dilakukan untuk mempertahankan diri dari kekerasan.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No No. 2542 K/Pid.Sus/2011
“Putusan Judex Facti yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sekayu yang menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan karena itu dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara dan kemudian menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan korban meninggal dunia, dan menyatakan Terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan tersebut terpaksa ia lakukan untuk mempertahankan/ membela diri dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar. Terdakwa menusuk korban ketika korban memukul Terdakwa dengan tangan kosong dan pompa angin yang terbuat dari besi secara terus menerus dan ketika korban terus mengejar Terdakwa untuk dipukul, Terdakwa melihat ada pisau diatas meja dan kemudian menusuk Terdakwa secara membabi buta
Bahwa Judex Facti telah menyimpulkan berdasarkan fakta yang diperoleh di persidangan bahwa benar Terdakwa telah melakukan perbuatan pidana yang terlingkup dalam dakwaan Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tetapi Terdakwa melakukan dengan mengambil pisau di meja, menusukkan berulang kali ke tubuh korban sebagai pembelaan diri Terdakwa karena sebelum ia mengambil pisau tersebut korban/suami Terdakwa telah marah-marah pada Terdakwa dan kedua anaknya karena tidak ada satupun di antara mereka yang meminggirkan perahu keteknya di sungai yang saat itu korban memukul Terdakwa menggunakan besi bekas pompa angin dimana Terdakwa tidak sempat lagi mau menghindar ke bawah karena rumah pakai tangga sehingga Terdakwa mengambil pisau tersebut dan menusuk korban kena dada kiri korban sehingga bersimbah darah seperti tersebut dalam Visum et Repertum dari RSUD Sungai Lilin Sekayu”
Perempuan, Kekerasan Struktural, dan Ruang Perlindungan Hukum
Putusan ini bukan hanya soal tafsir hukum pidana, tetapi juga soal keadilan substantif dalam konteks kekerasan berbasis gender. Banyak perempuan korban KDRT yang berada dalam situasi di mana pertahanan fisik adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri. Dalam konteks ini, penerapan pembelaan terpaksa oleh Mahkamah menjadi langkah penting dalam memperluas perlindungan hukum bagi kelompok rentan.
Pengakuan atas alasan pemaaf membuka ruang bagi korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan keadilan, tanpa harus dipojokkan dalam sistem hukum yang kerap mempersamakan tindakan defensif dengan kriminalitas.
Putusan Ini Penting untuk Advokasi dan Pendidikan Hukum
Putusan Mahkamah Agung No. 2542 K/Pid.Sus/2011 menjadi yurisprudensi penting dalam hukum pidana Indonesia. Ia menunjukkan bahwa pengadilan mampu membaca situasi secara holistik—bahwa tidak semua tindakan yang mengakibatkan kematian adalah kejahatan. Dalam konteks tertentu, ia bisa menjadi ekspresi terakhir dari hak untuk bertahan hidup.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email