Kisah Anak yang Terjebak dalam Labirin Kegelapan dan Keadilan yang Diperjuangkan

“Dalam putusan Pengadilan Tinggi, sorotan terarah pada seorang anak berusia belasan tahun yang dihadapkan pada pilihan mustahil setelah hamil akibat pemerkosaan oleh kakak kandungnya. Di sebuah desa kecil, tersembunyi dari mata masyarakat, sebuah rahasia kelam menyelimuti keluarga ini hingga kasus tersebut mencuat ke ranah hukum.”

Pada tanggal 20 Agustus 2018, Pengadilan Tinggi akhirnya mengeluarkan putusan yang mengubah jalan hidup seorang anak perempuan berusia belasan tahun. Seorang anak yang menghadapi masa depan yang suram, tidak hanya karena tragedi yang menimpa dirinya, tetapi juga karena tekanan adat dan ketakutan terhadap pandangan masyarakat di sekitarnya.

Sebuah Tragedi yang Dimulai di Rumah

Kasus ini bermula pada tahun 2017, ketika anak tersebut, yang hanya dikenal dengan inisial dalam dokumen pengadilan, mulai mengalami pelecehan seksual oleh kakak kandungnya. Tidak hanya sekali, namun sembilan kali ancaman dan kekerasan seksual menghantui kesehariannya. Hingga akhirnya, kehamilan yang tidak diinginkan pun terjadi. Kehamilan yang dalam adat setempat merupakan aib besar, dan kehadirannya harus disembunyikan dengan segala cara.

Sang anak tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi pada tubuhnya. Namun, rasa malu, ketakutan, dan tekanan dari lingkungan adat membuatnya bersama sang ibu, memutuskan untuk menggugurkan kandungan secara sembunyi-sembunyi.

Persoalan Hukum: Siapa yang Bersalah?

Pada suatu waktu di tahun 2018, tindakan aborsi tersebut dilakukan di rumah sederhana mereka. Bayi tersebut, lahir dalam keadaan tidak bernyawa, lalu dikuburkan di belakang rumah oleh sang anak. Tragedi tersebut terungkap setelah penduduk setempat menemukan bayi yang telah dikuburkan, yang kemudian menyeret sang anak ke dalam proses hukum.

Sistem hukum pun mengambil alih, dan sang anak dihadapkan dengan dakwaan melakukan aborsi ilegal. Dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara serta pelatihan kerja selama tiga bulan. Sebuah hukuman yang mungkin mengabaikan penderitaan fisik dan psikologis yang dialaminya selama ini.

Namun, penasehat hukumnya tidak tinggal diam. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, dengan argumen bahwa tindakan sang anak adalah akibat langsung dari trauma yang dialami, dan aborsi tersebut dilakukan di bawah tekanan psikologis yang berat.

Keadilan dalam Perspektif yang Lebih Luas

Pengadilan Tinggi melihat permasalahan ini dengan lensa yang lebih manusiawi. Hakim mempertimbangkan usia anak yang masih belia, fakta bahwa ia merupakan korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri, serta pengaruh kearifan lokal yang sangat menekan mentalitas sang anak dan keluarganya. Masyarakat di desa tempat mereka tinggal memiliki aturan adat yang keras terkait aib kehamilan di luar nikah, sehingga rasa takut terhadap sanksi sosial yang berat sangat mempengaruhi keputusan sang anak dan ibunya.

Selain itu, Majelis Hakim juga merujuk pada peraturan pemerintah yang memperbolehkan aborsi bagi korban pemerkosaan, terutama jika kehamilan tersebut menyebabkan trauma. Hal ini diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang memperbolehkan tindakan aborsi dalam kasus kehamilan akibat perkosaan, asalkan dengan prosedur yang benar. Namun, tekanan sosial dan keterbatasan pengetahuan membuat sang anak memilih jalan yang sulit dan tidak resmi.

Keputusan Pengadilan: Pembebasan di Tengah Duka

Dalam putusan yang akhirnya dibacakan, Pengadilan Tinggi membatalkan vonis Pengadilan Negeri. Anak tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Pengadilan beralasan bahwa perbuatan sang anak dilakukan di bawah tekanan psikologis yang berat, yang dalam hukum dikenal sebagai daya paksa.

Majelis Hakim juga memulihkan hak-hak anak, termasuk martabatnya yang sempat terenggut selama proses peradilan. Dalam amar putusannya, Hakim menegaskan bahwa sistem peradilan harus memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak, terlebih bagi mereka yang menjadi korban kekerasan seksual seperti dalam kasus ini.

Putusan ini bukan hanya soal keadilan bagi seorang anak yang menjadi korban, tetapi juga merupakan pengingat bagi kita semua bahwa di balik angka-angka statistik kriminal, ada kisah-kisah manusiawi yang penuh duka dan kompleksitas.

Putusan ini bukan hanya soal keadilan bagi seorang anak yang menjadi korban, tetapi juga merupakan pengingat bagi kita semua bahwa di balik angka-angka statistik kriminal, ada kisah-kisah manusiawi yang penuh duka dan kompleks. Keputusan untuk tidak memenjarakan anak ini adalah cerminan dari realitas yang dihadapi oleh korban kekerasan seksual, terutama mereka yang masih sangat muda dan rentan. Sistem hukum harus mampu merespons dengan kepekaan, tidak hanya berfokus pada pelanggaran hukum, tetapi juga pada konteks yang melingkupi perbuatan tersebut.

Pendapat Pengadilan Tinggi Jambi dalam Putusan No: 6/Pid.Sus-Anak/2018/PT JMB

“dalam diri anak yang melakukan aborsi sebagai korban pemerkosaan dari kakak kandungnya sendiri, pastilah mengalami goncangan jiwa dan pengaruh phisikis yang berat yang karenanya dengan bantuan ibu kandungnya berusaha melakukan tindakan aborsi tersebut agar tidak seorangpun diluar keluarganya mengetahui aib dan derita yang dialami oleh anak tersebut yang dalam jeritan hatinya pasti berseru “Tak seorangpun boleh tau biarlah kuderita sendiri”, demikian kiranya beratnya beban derita anak tersebut dan ibunya sehingga berusaha menyembunyikan dari siapapun kehamilan tersebut, maka dapatlah dipahami dalam keadaan dan untuk maksud itulah, anak melakukan aborsi tersebut. Dan syukur karena anak masih beruntung tidak sampai melakukan tindakan bodoh karena merasa malu dan takut dan dalam keadan stres berat lalu nekad bunuh diri. Jika itu yang terjadi maka sia-sialah maksud perlindungan hukum dari negara dan pemerintah bagi anak tersebut dengan menerbitkan berbagai undang-undang dan peraturan-peraturan hukum tentang perlindungan anak, oleh karena itu menurut pendapat Majelis Hakim Tingkat Banding perbuatan itu adalah keterpaksaan phisikis yang menimbulkan pengaruh daya paksa luar biasa bagi anak sehingga melakukan aborsi tersebut, karenanya berdasarkan ketentuan pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur : “Barang siapa melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”

Aborsi, Trauma, dan Perlindungan Anak

Putusan Pengadilan Tinggi ini menjadi contoh penting bagaimana hukum dapat memberikan perlindungan kepada anak-anak yang berhadapan dengan situasi sulit dan traumatis. Dalam konteks aborsi, undang-undang Indonesia, khususnya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, mengakui hak bagi korban perkosaan untuk menggugurkan kandungan, asalkan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Namun, dalam kasus ini, tekanan adat dan ketakutan akan stigma sosial membuat sang anak tidak dapat menempuh jalur legal.

Kasus ini juga memperlihatkan betapa rumitnya posisi anak perempuan yang menghadapi kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan seksual. Mereka tidak hanya menghadapi trauma fisik dan psikologis, tetapi juga tekanan sosial yang dapat menghancurkan masa depan mereka. Perlindungan terhadap anak, terutama korban kejahatan seksual, seharusnya menjadi prioritas dalam sistem peradilan kita.

Kesimpulan: Pelajaran dari Sebuah Kasus Tragis

Kasus ini membuka mata kita terhadap banyak aspek yang seringkali terlewatkan dalam wacana publik mengenai aborsi dan hak-hak perempuan. Di satu sisi, ada peraturan hukum yang memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual untuk menjalani aborsi yang aman. Di sisi lain, ada kenyataan pahit yang dihadapi oleh anak-anak perempuan di pedesaan, yang terjepit antara norma adat yang keras dan ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan yang seharusnya tersedia.

Putusan Pengadilan Tinggi yang melepaskan anak tersebut dari segala tuntutan hukum adalah sebuah langkah yang patut diapresiasi. Ini bukan hanya kemenangan bagi seorang anak yang menjadi korban perkosaan dan kemudian terjebak dalam situasi yang tak terelakkan, tetapi juga sebuah kemenangan bagi rasa keadilan yang lebih manusiawi.

Melalui putusan ini, pengadilan menunjukkan bahwa sistem hukum, meski seringkali tampak kaku dan berorientasi pada aturan, masih bisa mengutamakan belas kasih dan pemahaman mendalam terhadap kondisi sosial dan psikologis pelaku. Peradilan tidak hanya sekadar menegakkan hukum secara hitam putih, tetapi juga mempertimbangkan konteks luas yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk meninjau kembali bagaimana kita, sebagai masyarakat, menangani kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak-anak sebagai korban. Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari kasus ini.

Pertama, pentingnya edukasi dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang aman bagi korban kekerasan seksual. Masyarakat, terutama di pedesaan, sering kali tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hak-hak mereka dalam situasi darurat seperti kehamilan akibat perkosaan. Edukasi publik tentang prosedur yang legal dan aman untuk aborsi di bawah kondisi tertentu, seperti yang diatur dalam UU Kesehatan, perlu ditingkatkan agar kasus serupa dapat ditangani dengan lebih baik di masa depan.

Kedua, peran masyarakat dan keluarga dalam memberikan dukungan emosional kepada korban perkosaan sangat krusial. Dalam kasus ini, tekanan adat dan rasa malu menjadi faktor utama yang mendorong ibu dan anak tersebut untuk mengambil jalan pintas yang tragis. Masyarakat harus lebih peka dalam memberikan dukungan, alih-alih melanggengkan stigma yang dapat memperparah penderitaan korban.

Ketiga, sistem hukum dan peradilan perlu terus memperkuat pendekatan yang berbasis keadilan restoratif, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan anak-anak. Sebagaimana yang tercermin dalam putusan Pengadilan Tinggi, ada situasi di mana tindakan hukum formal tidak selalu menjadi solusi terbaik. Dalam banyak kasus, perlindungan terhadap hak-hak anak dan pemulihan mereka dari trauma harus menjadi prioritas utama.

Penutup

Kasus ini adalah pengingat bahwa setiap keputusan yang diambil di meja hijau harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan, terutama ketika melibatkan individu-individu rentan seperti anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Putusan ini, yang membebaskan seorang anak dari hukuman karena situasi luar biasa yang dihadapinya, adalah sebuah contoh bagaimana hukum bisa dan harus bekerja untuk melindungi, bukan menghukum.

Ke depan, kita berharap agar lebih banyak kasus yang ditangani dengan pendekatan yang serupa—mengutamakan perlindungan terhadap korban, memahami konteks sosial dan psikologis yang melingkupi perbuatan tersebut, dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk memulihkan hidup mereka tanpa dihantui oleh stigma dan rasa bersalah yang tidak seharusnya mereka pikul.

Catatan:

UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah tidak berlaku dan digantikan dengan UU No 17 Tahun 2023

PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sudah tidak berlaku dan digantikan dengan PP No 28 Tahun 2024

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading