“Putusan MA menegaskan pentingnya isbat nikah dalam poligami siri demi perlindungan hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat secara administratif.”
Pernikahan Siri dalam Poligami dan Konsekuensi Hukumnya
Poligami yang dilakukan secara siri—tanpa pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama—masih menjadi praktik yang ditemukan dalam masyarakat Indonesia. Salah satu implikasi serius dari praktik ini adalah ketiadaan perlindungan hukum terhadap istri dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Hal inilah yang menjadi inti perkara dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 430/Pdt.G/2019/PA.Clp., di mana pasangan yang menikah secara syar’i mengajukan permohonan isbat nikah setelah dikaruniai dua anak, namun permohonannya sempat ditolak di tingkat pertama.
Status Suami dan Dasar Penolakan Isbat Nikah
Dalam perkara ini, pasangan menikah secara syar’i pada 7 Mei 2017, disaksikan wali dan dua saksi laki-laki, dan telah menjalani kehidupan sebagai suami istri dengan memiliki dua anak. Namun karena perkawinan tersebut belum dicatatkan di KUA, mereka menghadapi kesulitan dalam pengurusan akta kelahiran anak. Permohonan isbat nikah pun diajukan ke Pengadilan Agama Cilacap, namun ditolak dengan alasan bahwa suami masih berstatus menikah dengan istri pertama saat akad dilakukan.
Namun pada saat mengajukan permohonan isbat nikah di tahun 2019, pemohon sudah resmi bercerai dengan istri pertamanya. Artinya, status hukum suami pada saat perkara diajukan adalah duda. Selain itu, tidak ada keberatan dari istri pertama terhadap pernikahan tersebut.
Pertimbangan Mahkamah Agung: Perlindungan Anak sebagai Prioritas
Mahkamah Agung mengambil pandangan yang berbeda dari pengadilan tingkat pertama. Dalam pertimbangannya, MA menekankan bahwa meskipun pernikahan dilakukan ketika suami belum secara hukum bercerai dari istri pertama, statusnya sebagai duda saat permohonan diajukan menjadi hal penting. MA juga melihat bahwa tidak ada unsur penipuan, paksaan, ataupun konflik dengan istri pertama. Bahkan, tidak ada keberatan dari pihak manapun terhadap pernikahan tersebut.
Yang paling utama, MA menekankan pentingnya perlindungan terhadap anak-anak yang lahir dari pernikahan ini. Dua anak yang dilahirkan dalam rentang waktu 2017 dan 2018 telah menjadi bagian dari realitas keluarga ini. Menolak isbat nikah sama saja dengan menutup hak-hak perdata anak, termasuk akta kelahiran, warisan, dan status hukum. Atas dasar itu, MA menyatakan bahwa demi keadilan dan kepentingan terbaik anak, maka permohonan isbat nikah patut dikabulkan.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan MA No 223 K/Ag/2020
“Bahwa Pemohon telah bercerai dengan istri pertamanya pada tanggal 17 Januari 2019, kemudian Pemohon mengajukan perkara penetapan isbat nikah kepada Judex Facti/Pengadilan Agama Cilacap pada tanggal 7 Oktober 2019. Dengan demikian, keadaan Pemohon dalam mengajukan perkara tersebut sudah berstatus duda, oleh karena itu sudah cukup beralasan apabila istri pertama Pemohon dimaksud tidak ditarik sebagai pihak dalam perkara a quo;
Bahwa meskipun status Pemohon masih sebagai suami dari istri pertama dalam pernikahan siri para Pemohon yang dilangsungkan pada tanggal 7 Mei 2017, akan tetapi pernikahan tersebut telah memenuhi ketentuan syariat, lagi pula tidak ada keberatan dari istri pertama terkait pernikahan tersebut;
Bahwa apabila pernikahan siri dalam kondisi istri pertama telah bercerai dengan Pemohon, maka tentu sangat mengusik rasa keadilan demi kepentingan terbaik bagi anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut. Atas dasar itu, untuk menyelamatkan masa depan anak-anak yang dilahirkan dalam pernikahan tersebut, maka layak dan adil jika pernikahan tersebut diitsbatkan”
Pesan Penting dari Putusan MA: Keadilan Lebih dari Sekadar Administrasi
Putusan ini menegaskan bahwa hukum tidak hanya berdiri pada tataran normatif dan administratif semata. Dalam praktiknya, hukum harus mampu menjawab realitas sosial dengan mempertimbangkan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. MA menunjukkan keberpihakannya terhadap anak sebagai pihak paling rentan dalam kasus poligami siri.
Bagi masyarakat, ini adalah pelajaran bahwa perkawinan yang tidak tercatat membawa risiko hukum nyata, terutama bagi anak. Bagi aparat penegak hukum, ini adalah pedoman bahwa keadilan substantif harus ditempatkan di atas kekakuan prosedur formal, terlebih jika menyangkut hak-hak sipil anak.
Kesimpulan: Perlindungan Anak dalam Poligami Siri Butuh Kepekaan Hukum
Putusan Mahkamah Agung ini menunjukkan bahwa dalam konteks poligami siri, isbat nikah tidak semata-mata urusan sah atau tidaknya sebuah perkawinan secara administratif. Ia menyangkut masa depan anak, akses terhadap hak-haknya, dan martabat keluarga. Oleh karena itu, pengakuan hukum melalui isbat nikah menjadi langkah penting dalam membangun keadilan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga benar secara moral dan sosial.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email