“Rancangan KUHAP terbaru mengusulkan sistem peradilan pidana yang modern dan manusiawi. Dengan keadilan restoratif, plea bargain, hingga peradilan berbasis teknologi informasi, hukum acara pidana kita sedang menuju babak baru.”
Perombakan Menyeluruh Sistem Peradilan Pidana
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) merupakan upaya legislatif terbesar dalam empat dekade terakhir untuk mereformasi hukum acara pidana di Indonesia. Disusun oleh fraksi-fraksi di DPR dan Pemerintah, draf ini menjawab kebutuhan untuk menghadirkan sistem hukum yang efisien, transparan, dan adaptif terhadap teknologi serta nilai-nilai hak asasi manusia. RUU ini tidak hanya memperbaiki kerangka prosedural, tetapi juga menawarkan pendekatan filosofis baru terhadap keadilan.
Mekanisme Baru: Restoratif, Kooperatif, dan Terintegrasi
RUU KUHAP memperkenalkan sejumlah instrumen hukum baru yang secara fundamental mengubah cara penanganan perkara pidana. Keadilan Restoratif, misalnya, kini diakui sebagai metode penyelesaian yang sah sejak tahap penyelidikan hingga persidangan. Mekanisme ini memungkinkan pelaku dan korban menyelesaikan sengketa secara damai dengan pengawasan pengadilan.
Selain itu, diperkenalkan pula konsep Plea Bargain—pengakuan bersalah secara sukarela dengan imbalan keringanan hukuman—dan Deferred Prosecution Agreement khusus bagi korporasi, serta Denda Damai sebagai alternatif penghentian perkara. Inovasi-inovasi ini mengurangi beban pengadilan dan menempatkan keadilan yang memulihkan sebagai titik berat.
Praperadilan dan Upaya Paksa Diperketat
Perluasan kewenangan Praperadilan merupakan salah satu sorotan utama. Kini, Praperadilan dapat menguji keabsahan hampir seluruh tindakan upaya paksa, termasuk penetapan tersangka, penyitaan, penahanan yang tak sesuai prosedur, hingga penundaan perkara tanpa alasan yang sah. RUU ini juga mewajibkan izin pengadilan untuk tindakan penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran kecuali dalam keadaan mendesak, serta menjamin transparansi dalam pelaksanaan semua tindakan paksa.
Perlindungan Komprehensif terhadap Hak Tersangka, Saksi, dan Korban
RUU KUHAP secara eksplisit menetapkan daftar panjang hak-hak Tersangka, mulai dari hak untuk diam, hak atas bantuan hukum, hingga hak bebas dari penyiksaan dan pertanyaan menjerat. Saksi dan korban juga mendapatkan perlindungan identitas, pendampingan psikologis dan hukum, serta akses terhadap restitusi dan kompensasi melalui Dana Abadi Ganti Rugi. Kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia pun memperoleh perlakuan khusus yang menjamin akses setara terhadap keadilan.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Penguatan Koordinasi Antar-Lembaga
RUU ini menegaskan prinsip diferensiasi fungsional: Polri sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut, dan pengadilan sebagai pemutus. Namun, fungsi ini tidak berjalan secara terpisah. Koordinasi antara penyidik dan penuntut umum harus berlangsung sejak awal proses, dengan batas waktu yang tegas untuk pengiriman, penelitian, dan pengembalian berkas perkara. Bahkan dalam perkara yang tidak lengkap, RUU mewajibkan digelarnya forum gelar perkara bersama yang melibatkan ahli dan pengawas.
Teknologi, Transparansi, dan Bukti Elektronik
RUU KUHAP mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti utama, termasuk dokumen elektronik, informasi digital, dan data yang diperoleh melalui sistem elektronik. Lebih lanjut, prinsip Exclusionary Rule juga diadopsi, yaitu bahwa bukti yang diperoleh secara melawan hukum tidak sah digunakan di pengadilan. Ini memberikan sinyal tegas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam proses penyidikan.
Inovasi dalam Putusan dan Pemeriksaan Singkat
Putusan Pemaafan Hakim menjadi jenis putusan baru yang memungkinkan terdakwa dinyatakan bersalah tanpa dijatuhi pidana, apabila pelanggaran tergolong ringan dan pertimbangan kemanusiaan lebih besar. Sementara itu, acara pemeriksaan singkat diperkenalkan untuk mempercepat proses bagi terdakwa yang mengakui dakwaan dan kasusnya ringan, dengan pembatasan pidana maksimum 2/3 dari ancaman pidana semula.
Penahanan Tak Lagi Tak Terbatas
RUU menetapkan batas waktu tegas untuk setiap tahap penahanan. Mulai dari penyidikan (maksimal 60 hari), penuntutan (50 hari), hingga pemeriksaan di pengadilan negeri, tinggi, dan kasasi (masing-masing 90 hari). Jika waktu terlampaui, terdakwa harus dibebaskan demi hukum. Selain itu, jenis penahanan pun diperluas—penahanan rumah dan kota kini memiliki status hukum yang setara, dengan pengurangan pidana yang proporsional.
Advokat: Bukan Pendamping Pasif, Tapi Penjaga Hak Konstitusional
Peran advokat diperkuat dengan kewenangan untuk menyatakan keberatan atas tindakan penyidik, mengakses BAP, mengajukan praperadilan, hingga menghadirkan saksi dan ahli. Advokat juga memiliki hak eksklusif untuk mendampingi terdakwa dalam proses plea bargain serta mekanisme keadilan restoratif. Dalam sistem baru ini, advokat diposisikan sejajar dengan penegak hukum lainnya.
Penutup: Dari Retributif ke Restoratif, dari Terpisah ke Terpadu
RUU KUHAP bukan sekadar revisi teknis, melainkan rekonstruksi konseptual terhadap hukum acara pidana kita. Ia menggeser paradigma dari semata menghukum ke memulihkan, dari birokratis ke efisien, dari otoriter ke akuntabel. Jika disahkan dan dijalankan sebagaimana mestinya, rancangan ini akan menjadi titik balik menuju sistem peradilan pidana Indonesia yang lebih adil, adaptif, dan manusiawi.