“Putusan MA No. 266 K/AG/2010 menegaskan keadilan dalam pembagian harta bersama setelah perceraian, dengan mempertimbangkan kontribusi riil masing-masing pihak selama perkawinan.”
Putusan Mahkamah Agung Nomor 266 K/AG/2010 menjadi salah satu yurisprudensi penting dalam perkara perceraian, khususnya terkait pembagian harta bersama. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menegaskan prinsip keadilan dalam pembagian harta yang diperoleh selama masa perkawinan, sekaligus memberikan arah yang jelas bagi peradilan agama dalam menangani kasus serupa.
Latar Belakang Perkara dan Permasalahan Hukum
Perkara ini bermula dari gugatan cerai yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya di pengadilan agama. Selain meminta talak, penggugat juga menuntut pembagian harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan. Sengketa muncul ketika pihak suami menolak untuk membagi sebagian aset, dengan alasan bahwa harta tersebut adalah milik pribadi atau diperoleh sebelum pernikahan.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menegaskan bahwa harta yang diperoleh selama masa perkawinan, baik atas nama suami maupun istri, pada prinsipnya merupakan harta bersama. Putusan ini juga memperkuat pemahaman bahwa keberadaan harta atas nama salah satu pihak tidak menghapus status harta bersama jika harta tersebut dihasilkan selama ikatan perkawinan berlangsung.
Prinsip Hukum Pembagian Harta Bersama
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat telah pecah, dengan fakta bahwa berbagai upaya untuk mempertahankan pernikahan telah dilakukan namun tidak berhasil. Penggugat tetap menginginkan perceraian karena Tergugat tidak pernah memberikan nafkah, serta tidak menjalankan kewajiban agama seperti salat dan puasa. Akibatnya, Penggugat mengalami stres yang bahkan memerlukan perawatan psikiater. Mahkamah Agung menilai bahwa rumah tangga yang demikian tidak lagi efektif untuk dipertahankan demi mencapai tujuan perkawinan, yakni membentuk rumah tangga yang harmonis.
Berdasarkan bukti dan fakta persidangan, Mahkamah Agung menemukan bahwa seluruh harta bersama justru diperoleh dari hasil kerja istri, sementara suami tidak memberikan kontribusi nafkah. Oleh karena itu, demi rasa keadilan, Mahkamah Agung menetapkan bahwa Penggugat berhak atas tiga perempat bagian dari harta bersama, sedangkan Tergugat hanya berhak atas seperempat bagian.
Putusan tersebut juga menghukum kedua belah pihak, Penggugat dan Tergugat, untuk membagi harta bersama sebagaimana ditetapkan. Apabila harta tidak dapat dibagi secara natura, maka harus dijual secara lelang di muka umum dan hasilnya dibagikan sesuai dengan perbandingan bagian masing-masing yang telah ditentukan.
Putusan MA ini mengacu pada prinsip dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), terutama Pasal 97, yang menyatakan bahwa janda atau duda berhak atas separuh dari harta bersama apabila terjadi perceraian. Prinsip ini didasarkan pada asas keadilan dan persamaan hak antara suami dan istri dalam kontribusi terhadap kehidupan rumah tangga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun Mahkamah Agung juga menekankan bahwa pengadilan harus menggali fakta mengenai sumber perolehan harta, kontribusi masing-masing pihak, dan kepentingan anak, jika ada. Oleh karena itu, pembagian harta tidak semata-mata bersifat matematis, melainkan juga mempertimbangkan aspek keadilan substantif dalam rumah tangga.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No 266 K/AG/2010
“Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah pecah, dengan fakta berbagai upaya telah dilakukan agar tidak terjadi perceraian, namun Penggugat tetap berkeinginan untuk cerai karena Tergugat tidak pernah memberikan nafkah dan Tergugat tidak taat beragama seperti shalat, puasa dan lain-lain, sehingga Penggugat mengalami stres dan memerlukan perawatan psykiater. Rumah tangga yang sudah pecah tersebut tidak efektif dipertahankan untuk mencapai tujuan dari perkawinan membentuk rumah tangga yang harmonis
Bahwa berdasarkan bukti dan fakta-fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya dan seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya, maka demi rasa keadilan, pantaslah Penggugat memperoleh harta bersama sebesar yang ditetapkan dalam amar putusan di bawah ini”
Implikasi Putusan bagi Praktik Peradilan
Putusan ini memberikan pedoman penting bagi hakim pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara perceraian yang disertai sengketa harta bersama. Hakim dituntut untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap status dan asal-usul harta, serta mendasarkan keputusan pada keadilan yang kontekstual.
Bagi masyarakat, putusan ini menjadi pengingat bahwa dalam sistem hukum Islam di Indonesia, pembagian harta bersama merupakan hak yang diakui dan dilindungi. Perlu dicatat bahwa istri yang tidak bekerja secara formal pun tetap memiliki hak atas harta bersama, karena kontribusi dalam bentuk pengelolaan rumah tangga juga diakui secara hukum.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 266 K/AG/2010 menegaskan pentingnya keadilan dalam pembagian harta bersama setelah perceraian. Dengan merujuk pada prinsip dalam Kompilasi Hukum Islam, MA menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya bersifat formal, tetapi juga substantif, mencakup pengakuan terhadap seluruh bentuk kontribusi dalam perkawinan. Putusan ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berhak atas harta bersama, dan menjadi rujukan dalam praktik peradilan agama di Indonesia.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email