Ketika Noodweer Diakui: Mahkamah Agung Koreksi Putusan Bebas Jadi Onslag dalam Perkara Pembelaan Diri

“Putusan Mahkamah Agung No. 964 K/Pid/2015 menjadi preseden penting tentang bagaimana pembelaan terpaksa (noodweer) seharusnya ditafsirkan dan dijatuhi dalam sistem hukum pidana Indonesia.”

Pembelaan Diri yang Berujung Gugurnya Nyawa

Sebuah insiden berdarah terjadi di sebuah pasar tradisional. Seorang warga diserang secara tiba-tiba dengan dua bilah pisau oleh pihak lain. Dalam situasi terdesak, ia melawan dan menyebabkan kematian penyerangnya. Peristiwa tersebut kemudian berujung pada proses pidana. Pengadilan tingkat pertama memutuskan bahwa perbuatan itu adalah murni pembelaan diri dan membebaskan pelaku dari semua dakwaan. Namun, kejaksaan mengajukan kasasi dengan argumentasi yang berbeda: bahwa pembelaan terpaksa bukan berarti perbuatan tidak terjadi, melainkan tidak dapat dipidana karena alasan pembenar.

Putusan Bebas vs. Pelepasan: Mahkamah Agung Menegaskan Batasannya

Pengadilan Negeri menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah dan membebaskannya berdasarkan asas tidak adanya niat jahat (opzet). Namun Mahkamah Agung, melalui Putusan No. 964 K/Pid/2015, membatalkan putusan tersebut dan menggantinya dengan onslaag van recht vervolging—pelepasan dari segala tuntutan hukum. MA menilai bahwa meskipun perbuatan itu terbukti dilakukan, tindakan tersebut dibenarkan karena memenuhi unsur pembelaan terpaksa sebagaimana dimaksud Pasal 49 ayat (1) KUHP.

Dengan demikian, MA menegaskan bahwa pembelaan terpaksa bukan berarti tidak melakukan perbuatan, tetapi melakukan perbuatan yang sah menurut hukum karena untuk menyelamatkan diri dari ancaman yang nyata.

Pembelaan Terpaksa dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

Pasal 49 KUHP menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila melakukan pembelaan terpaksa untuk mempertahankan diri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum. Namun pembelaan ini hanya dapat diterima bila ada ancaman nyata dan reaksi yang dilakukan seimbang.

Dalam perkara ini, MA menyimpulkan bahwa tindakan pelaku merupakan pembelaan yang sah karena dilakukan dalam keadaan darurat akibat serangan fisik yang brutal. Oleh karena itu, bukan unsur kesalahan yang dihapus, melainkan perbuatannya dibenarkan oleh hukum—sehingga logika putusan bebas murni tidak tepat.

Koreksi Terhadap Kekeliruan Penerapan Hukum oleh Pengadilan Negeri

Jaksa Penuntut Umum dalam memori kasasinya menggarisbawahi bahwa putusan pengadilan pertama mengabaikan asas pembuktian negatif dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut Jaksa, jika perbuatan terbukti namun pelaku tidak dapat dipidana, maka vonis yang tepat adalah onslaag. Mahkamah Agung menerima argumentasi ini dan membatalkan putusan bebas murni, menunjukkan pentingnya presisi yuridis dalam membedakan pembenaran hukum dari peniadaan kesalahan.

Putusan ini mengingatkan kembali bahwa kesalahan dalam menerapkan bentuk putusan bukan sekadar kesalahan prosedural, melainkan berdampak serius pada kepastian hukum dan keadilan.

Pendapat Mahkamah Agung pada Putusan MA No 964 K/PID/2015

“Bahwa akibat perbuatan Terdakwa dengan sengaja melakukan penusukan terhadap korban yang mengakibatkan korban meninggal dunia telah memenuhi unsur delik “pembunuhan” sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum pada dakwaan Alternatif Pertama (Pasal 338 KUHP);

Bahwa namun demikian berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa perbuatan Terdakwa menikam korban dalam rangka membela diri karena diserang korban tiba-tiba dengan 2 (dua) buah pisau dan sudah sempat melukai Terdakwa, maka Terdakwa merebut salah satu pisau yang dipegang korban dan melakukan penusukan terhadap korban, yang mengakibatkan korban meninggal dunia;

Bahwa serangan yang dilakukan korban (Agus) terhadap Terdakwa di bagian perut, dan ketika Terdakwa mencoba menghindar dari serangan korban, ternyata korban masih mengejar untuk melakukan serangan pada bagian pundak kanan dan kiri dari arah belakang Terdakwa, dan Terdakwa dalam posisi tidak dapat melarikan diri lagi, maka tindakan Terdakwa yang kemudian berhasil merebut salah satu pisau yang dipegang oleh korban dan berbalik menikam ke arah korban, maka perbuatan Terdakwa tersebut merupakan Upaya pembelaan darurat untuk mempertahankan hidupnya;

Bahwa oleh karena itu perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum tersebut terbukti tetapi merupakan perbuatan membela diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, sehingga terhadap Terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging);”

Kesimpulan: Noodweer Adalah Alasan Pembenar, Bukan Penghapus Perbuatan

Putusan Mahkamah Agung No. 964 K/Pid/2015 menjadi acuan penting dalam praktik hukum pidana Indonesia. Ia menjelaskan bahwa dalam kasus pembelaan terpaksa, putusan bebas murni tidak tepat bila perbuatan terbukti terjadi. Sebaliknya, pelaku harus dilepaskan dari tuntutan hukum karena tindakannya sah menurut hukum, bukan karena tidak terbukti.

Preseden ini memperkuat pemahaman bahwa hukum pidana tidak hanya menghukum, tetapi juga memberi ruang untuk membenarkan tindakan warga negara yang mempertahankan diri dari bahaya yang nyata.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading