Mewujudkan Keadilan untuk Perempuan dan Anak dalam Sistem Peradilan Inklusif di Indonesia

Pedoman Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2021 menjadi terobosan penting dalam menjamin akses keadilan bagi perempuan dan anak di Indonesia. Pedoman ini menyoroti perlindungan hak asasi, keadilan gender, dan pendekatan manusiawi dalam sistem peradilan pidana.”

Keberadaan sistem hukum yang adil dan manusiawi adalah pondasi sebuah negara demokratis. Namun, pertanyaan besar yang sering muncul adalah: sudahkah perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan akses keadilan yang layak? Pedoman Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana hadir untuk menjawab tantangan ini dengan memberikan panduan bagi aparat hukum dalam menangani kasus yang melibatkan perempuan dan anak.

Menjawab Kebutuhan Hukum di Tengah Masyarakat

Pedoman ini dirancang sebagai respons atas kebutuhan hukum yang semakin kompleks di masyarakat, khususnya bagi perempuan dan anak yang sering kali menjadi pihak paling rentan dalam sistem peradilan pidana. Dalam konteks hukum pidana, perempuan dan anak tidak hanya ditempatkan sebagai korban, tetapi juga sebagai saksi dan pelaku. Sayangnya, ketidakadilan sering kali muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari diskriminasi hingga pengabaian hak-hak dasar mereka.

Salah satu poin penting dari pedoman ini adalah pengakuan terhadap hak-hak perempuan dan anak dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan sensitif. Penanganan kasus tidak hanya dilakukan dengan mengacu pada asas non-diskriminasi, tetapi juga mempertimbangkan pelindungan terhadap kehormatan dan martabat individu.

Prinsip-prinsip Dasar: Membumikan Keadilan

Pedoman Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2021 menyasar seluruh tahapan penanganan perkara pidana, mulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam setiap tahap, prinsip-prinsip keadilan gender dan pelindungan anak menjadi landasan utama. Hal ini mencakup beberapa aspek, seperti cara pemeriksaan korban dan saksi, publikasi kasus, hingga pelaksanaan restitusi atau kompensasi bagi korban.

Sebagai contoh, pemeriksaan terhadap perempuan korban kekerasan seksual harus dilakukan dengan menghindari pertanyaan yang bersifat diskriminatif atau seksis. Hak-hak korban untuk mendapatkan pendampingan hukum, sosial, dan psikologis juga diatur secara rinci, sehingga proses hukum tidak malah menjadi sumber trauma baru bagi mereka.

Pertimbangan Khusus untuk Perempuan dan Anak sebagai Pelaku

Dalam konteks perempuan dan anak sebagai pelaku tindak pidana, pedoman ini juga memberikan arahan yang spesifik. Jaksa harus mempertimbangkan keadaan khusus yang melatarbelakangi tindak pidana, termasuk riwayat kekerasan atau trauma yang pernah dialami oleh pelaku. Kondisi psikologis atau keadaan mental pelaku pada saat tindak pidana dilakukan juga menjadi faktor penting. Posisi pelaku sebagai kelompok rentan tidak bisa diabaikan, terutama jika ada relasi kuasa yang menempatkan perempuan dan anak dalam posisi subordinasi atau ketergantungan, serta stereotip gender yang memengaruhi peran mereka dalam masyarakat dan keluarga.

Selain itu, jaksa harus memperhatikan faktor pendorong atau pemaksa di balik tindakan pelaku. Tekanan, paksaan, atau manipulasi dari pihak lain yang memengaruhi tindakan pelaku, serta situasi yang membuat pelaku merasa tidak memiliki pilihan lain, harus menjadi bahan analisis dalam tuntutan. Upaya rehabilitasi menjadi langkah yang tidak kalah penting. Penekanan pada langkah rehabilitasi, khususnya untuk anak, lebih diutamakan dibandingkan pendekatan hukuman semata. Pelibatan program konseling atau pelatihan untuk membantu pelaku memperbaiki diri adalah bagian dari upaya membangun keadilan restoratif.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, tuntutan jaksa tidak hanya fokus pada penghukuman, tetapi juga pada keadilan restoratif yang bertujuan memulihkan pelaku dan masyarakat.

Tantangan di Lapangan: Antara Regulasi dan Realisasi

Meskipun pedoman ini memberikan arah yang jelas, pelaksanaannya di lapangan bukan tanpa tantangan. Banyak kasus menunjukkan bahwa aparat hukum belum sepenuhnya memahami atau menerapkan perspektif keadilan gender. Dalam beberapa kasus, korban justru dipersalahkan atas tindak kekerasan yang menimpa mereka. Stigma sosial terhadap perempuan dan anak yang terlibat dalam kasus pidana juga kerap menjadi penghalang utama dalam upaya pemulihan mereka.

Selain itu, keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia sering kali menjadi kendala dalam implementasi pedoman ini. Pemeriksaan melalui perekaman elektronik, misalnya, memerlukan fasilitas yang belum tersedia di semua daerah. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi saja tidak cukup; butuh komitmen nyata dari semua pihak untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.

Akses Keadilan sebagai Hak Asasi

Pedoman ini tidak hanya soal prosedur hukum, tetapi juga mengenai pengakuan bahwa akses keadilan adalah bagian dari hak asasi manusia. Perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum sering kali berada dalam posisi yang rentan, sehingga negara memiliki kewajiban untuk melindungi mereka dari perlakuan tidak adil.

Dalam hal ini, restitusi dan kompensasi menjadi elemen penting. Tidak hanya untuk memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga untuk memulihkan mereka dari dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan oleh tindak pidana. Jaksa berperan besar dalam memastikan hak-hak ini terpenuhi, baik melalui koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) maupun dengan aparat penegak hukum lainnya.

Masa Depan Sistem Peradilan yang Inklusif

Pedoman Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2021 adalah langkah maju dalam membangun sistem peradilan yang inklusif dan berkeadilan. Namun, pekerjaan rumah masih banyak. Regulasi ini harus diiringi dengan peningkatan kapasitas aparat hukum, penyediaan infrastruktur yang memadai, serta kampanye yang bertujuan mengubah stigma sosial terhadap perempuan dan anak.

Sistem peradilan yang adil tidak hanya diukur dari seberapa tegasnya hukuman dijatuhkan, tetapi juga dari bagaimana keadilan itu dirasakan oleh semua pihak, terutama mereka yang paling rentan. Pedoman ini adalah pengingat bahwa hukum tidak boleh hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi harus menjadi sarana pelindungan dan pemulihan.

Dengan implementasi yang konsisten, kita berharap keadilan tidak lagi menjadi hak istimewa, tetapi milik semua orang, termasuk perempuan dan anak. Karena keadilan yang sebenarnya adalah ketika setiap individu merasa dilindungi dan dihormati, tanpa terkecuali. Reformasi hukum yang berfokus pada hak asasi akan menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan ini.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading