“Penghitungan nilai mata uang asing untuk uang pengganti harus didasarkan pada kurs saat tindak pidana terjadi, bukan saat putusan dijatuhkan, sesuai dengan prinsip tempus delicti.”
Ketika seseorang dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk membayar uang pengganti dalam bentuk mata uang asing, muncul pertanyaan penting: bagaimana cara menentukan nilai mata uang asing tersebut? Apakah nilainya dihitung berdasarkan kurs saat ini atau kurs pada waktu tertentu di masa lalu? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi krusial dalam memastikan keadilan dalam penentuan besaran uang pengganti.
Prinsip Tempus Delicti dalam Penghitungan Kurs
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2018, penghitungan nilai mata uang asing dalam menentukan besarnya uang pengganti harus dilakukan berdasarkan nilai mata uang asing atau kurs tengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat tindak pidana dilakukan, yang dalam bahasa hukum dikenal sebagai tempus delicti. Ini berarti bahwa nilai mata uang asing yang digunakan untuk menghitung besaran uang pengganti tidak berdasarkan nilai kurs pada saat perkara diputus, melainkan pada saat kejahatan tersebut terjadi.
Rumusan Kamar Pidana dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 Tahun 2018
“Penghitungan nilai mata uang asing (kurs asing) dalam menentukan besarnya uang pengganti. Penghitungan nilai mata uang asing untuk menentukan besarnya uang pengganti dilakukan sesuai dengan nilai mata uang asing/kurs tengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat tindak pidana dilakukan (tempus delicti).”
Ilustrasi Kasus: Penghitungan Uang Pengganti dalam Mata Uang Asing
Untuk lebih memahami bagaimana prinsip ini diterapkan, mari kita lihat sebuah contoh kasus. Misalkan seorang pengusaha berinisial “A” melakukan tindak pidana korupsi pada tahun 2017, di mana ia terbukti menyalahgunakan dan menyebabkan kerugian negara sebesar sebesar 100.000 USD. Setelah proses penyelidikan dan peradilan yang panjang, kasus ini baru selesai dan diputuskan pada tahun 2022. Pengadilan memutuskan bahwa “A” harus membayar uang pengganti sebesar 100.000 USD.
Pertanyaannya adalah, berapa nilai rupiah yang harus dibayar oleh “A” jika ia harus mengganti kerugian tersebut dalam bentuk rupiah?
Sesuai dengan aturan dalam SEMA No. 3 Tahun 2018, penghitungan nilai mata uang asing harus didasarkan pada kurs tengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat tindak pidana dilakukan, yaitu tahun 2017. Misalkan, pada tahun 2017, kurs tengah USD terhadap Rupiah adalah Rp 13.500 per USD. Maka, uang pengganti yang harus dibayar oleh “A” adalah:
100.000 USD x Rp 13.500/USD = Rp 1.350.000.000
Pada saat putusan dijatuhkan pada tahun 2022, kurs USD terhadap Rupiah mungkin sudah berubah, misalnya menjadi Rp 14.500 per USD. Jika penghitungan dilakukan berdasarkan kurs tahun 2022, maka besaran uang pengganti yang harus dibayar “A” akan menjadi:
100.000 USD x Rp 14.500/USD = Rp 1.450.000.000
Namun, sesuai dengan aturan yang berlaku, pengadilan harus menggunakan kurs pada tahun 2017, yaitu Rp 13.500 per USD. Dengan demikian, “A” wajib membayar Rp 1.350.000.000, bukan Rp 1.450.000.000.
Mengapa Ini Penting?
Penentuan kurs berdasarkan tempus delicti ini sangat penting untuk menjaga keadilan bagi terdakwa. Jika penghitungan dilakukan berdasarkan kurs pada saat putusan (yang mungkin lebih tinggi atau lebih rendah), bisa saja terjadi ketidakadilan baik bagi terdakwa maupun korban. Dengan mengacu pada kurs saat tindak pidana dilakukan, pengadilan memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan tetap adil dan proporsional dengan keadaan ekonomi saat kejahatan terjadi.
Kesimpulan
Dalam kasus di mana uang pengganti ditetapkan dalam bentuk mata uang asing, penentuan nilai mata uang asing tersebut harus dilakukan sesuai dengan kurs tengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat tindak pidana terjadi. Aturan ini, yang ditegaskan dalam SEMA No. 3 Tahun 2018, bertujuan untuk memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan tetap relevan dengan kondisi ekonomi pada saat kejahatan tersebut dilakukan, bukan pada saat putusan dijatuhkan. Prinsip tempus delicti ini merupakan elemen kunci dalam menjaga keadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)