Mengapa Putusan Kasasi Ini Menjadi Titik Balik dalam Penanganan Kasus Korupsi?

“Putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 855 K/Pid.Sus/2021 dalam kasus Fulan menjadi sorotan karena menegaskan pentingnya legalitas dan kebijakan hukum terbuka dalam penanganan kasus korupsi.”

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam sebuah kasus korupsi yang terjadi di Bali telah menimbulkan perdebatan di kalangan publik dan para pengamat hukum. Putusan kasasi yang tertuang dalam nomor 855 K/Pid.Sus/2021 ini menjadi sorotan utama karena dianggap sebagai cerminan bagaimana hukum diterapkan dalam konteks korupsi di Indonesia. Mari kita bedah lebih dalam alasan dan implikasi dari putusan tersebut.

Tindak Pidana Korupsi: Sebuah Tantangan Bagi Penegakan Hukum

Korupsi, sering dijuluki sebagai penyakit kronis dalam sistem pemerintahan, memiliki dampak yang sangat merusak bagi perekonomian dan kepercayaan publik. Kasus yang melibatkan seorang Perbekel Desa di Bali, menambah daftar panjang pejabat yang tersandung kasus korupsi. Namun, putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung dalam kasus ini justru memberikan perspektif baru dalam melihat tindak pidana korupsi dan penerapan hukumnya.

Proses Hukum dan Keputusan Awal

Perjalanan hukum kasus ini dimulai dari Pengadilan Negeri Denpasar, di mana, sebut saja namanya Fulan – seorang Perbekel Desa, didakwa melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Tuntutan Penuntut Umum merujuk pada Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Namun, pada 10 Juni 2020, Pengadilan Negeri Denpasar membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Putusan ini didasarkan pada kurangnya bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa tindakan terdakwa merugikan keuangan negara atau melanggar hukum.

Permohonan Kasasi dan Pertimbangan Mahkamah Agung

Ketidakpuasan Penuntut Umum terhadap putusan bebas tersebut membuat mereka mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung pada 16 Juni 2020. Mereka berharap bahwa Mahkamah Agung akan melihat kembali dan mengoreksi putusan Pengadilan Negeri Denpasar.

Namun, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Denpasar sudah tepat. Mereka menegaskan bahwa tindakan terdakwa yang mendistribusikan dana pungutan tanpa menyetorkannya ke kas desa terlebih dahulu adalah sah berdasarkan kebijakan administratif yang berlaku. Selain itu, Mahkamah Agung juga menekankan bahwa tidak ada kerugian keuangan negara yang dihasilkan dari tindakan tersebut.

Pendapat Mahkamah Agung dalam Perkara No 855 K/Pid.Sus/2021

“Bahwa perbuatan Terdakwa untuk mengambil kebijakan yang dilakukan dengan mendistribusikan dana pungutan tanpa disetor dahulu ke dalam Kas Desa sebelum didistribusikan kepada perangkat dan aparatur desa dan dialokasikan kepada BUMDes, maka tindakan atau perbuatan tersebut sedemikian rupa adalah merupakan perbuatan penggunaan kewenangan yang bersifat aktif yang dapat dibenarkan dalam hukum administrasi pemerintahan yaitu “wewenang bebas” atas inisiatif untuk melakukan kebijakan dalam mengatasi segera dan secepatnya tentang suatu hal, dengan menetapkan suatu perbuatan bagi kepentingan tugasnya yang tidak sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan tetapi dapat melakukan kebijakan (beleidvrijheid) sehingga tidak dapat dinilai Hakim Pidana ataupun Hakim Perdata, karena merupakan Administrative Penal Law yang tidak termasuk dalam domain tindak pidana korupsi jika dihubungkan dengan pelaksanaan kebijakan (beleidvrijheid) tersebut hanya tunduk dan dinilai dari segi Hukum Administrasi Negara, dari aspek doelmatigheid atau asas kemanfaatan, dan tidak merupakan yurisdiksi dari makna menyalahgunakan kewenangan maupun dimensi melawan hukum dalam hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana korupsi, dengan demikian unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya tidak terpenuhi;

Bahwa perbuatan Terdakwa melalui saksi, dalam periode Januari 2017 sampai dengan Februari 2018,uang sumbangan telah dibagi-bagikan kepada perangkat dan aparatur desa  yang tidak dapat disimpulkan sebagai perbuatan Terdakwa yang menguntungkan orang lain, karena sesuai fakta persidangan tidak satu peraturan pun yang melarang jabatan Kepala Desa untuk memberikan tunjangan penghasilan selain penghasilan tetap bulanan yang dimaksudkan insentif kepada Perangkat Desa maupun anggota BPD, bahwa demikian halnya dengan jumlah besaran atau nominal insentif yang boleh dialokasikan oleh Kepala Desa senyatanya merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), dan perbuatan Terdakwa tersebut yang mengalokasikan dana desa untuk pemberian tunjangan penghasilan kepada aparat desa senyatanya dibenarkan dengan terbitnya Peraturan Walikota Denpasar Nomor 2 Tahun 2018 tentang Besaran Penghasilan Tetap, Tunjangan Perbekel dan Perangkat Desa serta Tunjangan BPD tertanggal 5 Januari 2018 sebagaimana dalam Pasal 2 mengenai besaran tunjangan yang diterima oleh Perbekel dan perangkat Desa mulai dari tunjangan tetap sebesar Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah) sampai dengan Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), dengan demikian unsur menguntungkan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tidak terpenuhi;”

Legalitas dan Kebijakan Hukum

Salah satu poin penting dalam putusan ini adalah pengakuan terhadap kebijakan hukum terbuka (beleidvrijheid) yang dimiliki oleh pejabat publik. Kepala desa memiliki kebebasan untuk mengambil kebijakan yang dianggap perlu selama kebijakan tersebut tidak melanggar hukum dan bermanfaat bagi masyarakat. Dalam kasus ini, tindakan terdakwa dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka yang sah.

Implikasi Putusan Terhadap Sistem Hukum

Putusan kasasi ini menegaskan pentingnya legalitas dan dasar hukum yang kuat dalam setiap tindakan pejabat publik. Selain itu, putusan ini juga menunjukkan bahwa pengadilan harus mempertimbangkan aspek administratif dan kebijakan yang diambil oleh pejabat dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, putusan ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pejabat publik dalam menjalankan tugas mereka dengan lebih transparan dan akuntabel.

Penutup

Kasus ini berikut denganputusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 855 K/Pid.Sus/2021 memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya memahami dan menerapkan hukum dengan tepat. Putusan ini tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat, tetapi juga memberikan pandangan baru bagi masyarakat dan penegak hukum dalam menangani kasus korupsi. Diharapkan, dengan adanya putusan ini, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat semakin meningkat.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading