“Mahkamah Agung membebaskan seorang pelajar perempuan dari dakwaan narkotika dengan alasan kesalahan penerapan hukum oleh Judex Facti”
Dalam sebuah dunia di mana hukum adalah pilar utama keadilan, pengadilan sering kali menjadi arena pertarungan antara kebenaran dan keraguan. Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia terhadap seorang perempuan muda yang menghadapi tuduhan berat terkait narkotika. Dalam putusan bernomor 2089 K/Pid.Sus/2011, MA menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan.
Konteks Kasus: Dari Ketapang ke Mahkamah Agung
Seorang pelajar perempuan asal Kalimantan Barat, didakwa melakukan permufakatan jahat untuk memiliki, menyimpan, dan menguasai narkotika golongan I. Tuduhan ini bermula dari penggerebekan di sebuah losmen, di mana Terdakwa bersama tiga orang lainnya ditangkap dengan barang bukti berupa shabu-shabu seberat 0,8 gram.
Pengadilan Negeri memutuskan bahwa Terdakwa tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primair dan subsidair. Namun, pengadilan menyatakan ia bersalah sebagai penyalahguna narkotika golongan I untuk dirinya sendiri, dan menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Pontianak.
Melangkah ke Tingkat Kasasi
Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi, berargumen bahwa putusan sebelumnya gagal mempertimbangkan aspek hukum dengan tepat. Dalam memori kasasi, Jaksa menyoroti kelalaian judex facti yang dianggap tidak mematuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, yakni peraturan hukum yang menjadi dasar pemidanaan harus disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi tersebut, tetapi justru membebaskan Terdakwa dari seluruh dakwaan primair dan subsidair dan PN serta PT telah salah menerapkan hukum karena telah menyatakan Terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa didasarkan pada ketentuan pidana Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang tidak didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum. MA berpendapat bahwa fakta persidangan menunjukkan Terdakwa tidak terbukti menguasai atau memiliki narkotika sebagaimana dituduhkan.
Pertimbangan Hukum dan Dissenting Opinion
Putusan MA ini tidak sepenuhnya bulat. Salah satu hakim anggota majelis, Suhadi, SH., MH., mengajukan dissenting opinion. Ia menilai bahwa Terdakwa telah terbukti bersalah melakukan permufakatan jahat untuk menguasai narkotika golongan I. Dalam pandangannya, tindakan Terdakwa bersama kawan-kawan—dari pantai hingga losmen—menunjukkan adanya niat bersama yang melibatkan kepemilikan narkotika secara kolektif.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No 2089 K/Pid.Sus/2011
“Bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi tersebut, Judex Facti telah salah menerapkan hukum, oleh karena telah menyatakan Terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa didasarkan pada ketentuan pidana Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang tidak didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum, lagi pula fakta di persidangan membuktikan bahwa Terdakwa hanya menghisap shabu-shabu, dengan demikian Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan Primair dan Subsidair, dan harus dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa/Penuntut Umum”
Refleksi: Antara Hukum dan Kemanusiaan
Kasus ini mengundang pertanyaan mendalam tentang bagaimana sistem peradilan pidana di Indonesia menimbang antara aspek hukum dan kemanusiaan. Di satu sisi, pemberantasan narkotika menjadi prioritas negara dalam melindungi generasi muda. Namun di sisi lain, setiap individu berhak atas pengadilan yang adil dan bebas dari prasangka.
Putusan MA ini menjadi contoh penting bagaimana hukum bekerja dalam kerangka fakta dan asas praduga tak bersalah. Terlepas dari pro dan kontra yang menyertainya, kasus ini mempertegas pentingnya ketelitian dalam memeriksa setiap bukti dan keterangan saksi di persidangan.
Epilog: Sebuah Harapan untuk Masa Depan
Melalui putusan ini, MA tidak hanya mengadili seorang terdakwa, tetapi juga mengirimkan pesan penting tentang perlunya keseimbangan antara keadilan dan aturan hukum. Semoga kasus seperti ini menjadi pengingat bahwa dalam setiap keputusan, ada manusia di balik angka dan pasal, dengan hak yang harus dijaga.
Ketika hukum ditegakkan dengan bijaksana, keadilan tidak hanya menjadi kata-kata, tetapi juga kenyataan.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email