“Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik”
Dalam lanskap hukum Indonesia, kasus-kasus yang melibatkan platform digital kerap kali menjadi sorotan, tidak hanya karena kompleksitasnya tetapi juga dampaknya yang luas pada masyarakat. Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah perkara yang melibatkan mantan karyawan yang dituduh mencemarkan nama baik atasannya melalui media sosial. Putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menawarkan pandangan menarik tentang bagaimana hukum pidana Indonesia menghadapi dinamika baru di era digital.
Konteks Kasus: Media Sosial sebagai Arena Konflik
Kasus ini bermula dari serangkaian unggahan seorang mantan karyawan di akun media sosialnya. Unggahan tersebut, yang ditujukan kepada mantan atasannya, memuat keluhan tentang dugaan ketidakadilan di tempat kerja. Dari pernyataan mengenai pemotongan gaji hingga perlakuan yang dianggap tidak manusiawi, unggahan tersebut memicu respons negatif dari publik yang meluas. Namun, unggahan itu juga membawa konsekuensi hukum ketika mantan atasan merasa nama baiknya tercemar dan mengajukan laporan ke polisi.
Pertimbangan Pengadilan: Menerjemahkan Pasal dalam Konteks Digital
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum menuduh terdakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 36 Jo Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang ITE, Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang ITE, dan Pasal 311 ayat (1) KUHP. Pasal-pasal ini mengatur tentang distribusi informasi elektronik yang mengandung pencemaran nama baik. Berdasarkan persidangan, Jaksa Penuntut Umum meminta pengadilan untuk menjatuhkan hukuman kepada terdakwa atas tindakan tersebut.
Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk membebaskan terdakwa. Dalam amar putusannya, pengadilan menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan. Putusan ini menjadi cerminan penerapan asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Pendapat PN Jakarta Pusat dalam Perkara No 589/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Pst
“Menimbang bahwa postingan dan/atau komentar yang dilakukan oleh terdakwa melalui aplikasi twitter tersebut perkara a quo gambar No. 1 sampai dengan gambar No. 5 , Terdakwa menyatakan tidak ada maksud atau tujuan untuk mencemarkan nama baik atau merugikan orang lain melalui reply tersebut, Terdakwa mengakui tidak ada tujuan khusus dari reply tersebut, tetapi ada keinginan agar tidak ada karyawan lain merasakan hal yang sama, sehingga majelis hakim berpendapat perbuatan terdakwa perkara a quo tidak ada maksud menyerang kehormatan seseorang in casu Pelapor dengan menuduhkan sesuatu berupa postingan dan/atau komentar yang dilakukan oleh terdakwa melalui aplikasi twitter tersebut perkara a quo gambar No. 1 sampai dengan gambar No. 5, supaya diketahui umum;”
“Menimbang bahwa pertimbangan majelis hakim sejalan dengan Surat Keputusan Besama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia,Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik , No. 3 Pasal untuk 27 ayat ( 3 ) huruf c yang menyatakan “ Bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) U ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, evaluasi pendapat, hasil evauluasi atau sebuah kenyataan” ;”
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tersebut diatas, oleh karena terdakwa dapat membuktikan bahwa postingan dan/atau komentar yang dilakukan oleh terdakwa melalui aplikasi twitter tersebut perkara a quo gambar No. 1 sampai dengan gambar No. 5 adalah sebuah kenyataan atau fakta , sehingga majelis hakim berpendapat terdakwa telah mampu membuktikan kebenaran postingan dan/atau komentar yang dilakukan oleh terdakwa melalui aplikasi twitter tersebut perkara a quo gambar No. 1 sampai dengan gambar No. 5, dengan demikian bukan termasuk melakukan pencemaran atau pencemaran secara tertulis atau menista sebagaimana pasal 311 ayat ( 1 ) KUHP;”
“…oleh karena terdakwa dapat membuktikan bahwa postingan dan/atau komentar yang dilakukan oleh terdakwa melalui aplikasi twitter tersebut perkara a quo gambar No. 1 sampai dengan gambar No. 5 adalah sebuah kenyataan atau fakta , Dan majelis hakim berpendapat sebagaimana dalam pertimbangan pertimbangan tersebut diatas terdakwa dan atau Penasihat Hukum terdakwa telah mampu membuktikan kebenaran postingan dan/atau komentar yang dilakukan oleh terdakwa melalui aplikasi twitter tersebut perkara a quo gambar No. 1 sampai dengan gambar No. 5, dengan demikian sesuai dasar pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU- VI/2008 Tahun 2008, dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pengertian muatan yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP berkaitan dengan perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku, sehingga hal tersebut bukan termasuk pencemaran atau pencemaran secara tertulis atau menista sebagaimana pasal 311 ayat ( 1 ) KUHP dan juga bukan termasuk perbuatan pidana sebagaiamana diancam dalam pasal 27 ayat ( 3 ) UU ITE,…”
Dampak Sosial: Ketegangan Antara Kebebasan Ekspresi dan Perlindungan Reputasi
Kasus ini mencerminkan ketegangan yang terus berlangsung antara dua nilai fundamental dalam masyarakat demokratis: kebebasan berekspresi dan perlindungan reputasi. Di satu sisi, media sosial memungkinkan individu untuk menyuarakan pendapat mereka secara bebas dan tanpa hambatan. Namun di sisi lain, platform ini juga dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang merugikan pihak lain.
Terdakwa mengklaim bahwa unggahannya adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dialaminya sebagai karyawan. Sementara itu, pihak pelapor merasa bahwa unggahan tersebut tidak hanya merusak reputasi pribadinya tetapi juga bisnis yang dijalankannya.
Refleksi: Apa Arti Keadilan di Era Digital?
Putusan ini menjadi pengingat bahwa hukum harus terus berkembang untuk mengimbangi perubahan sosial dan teknologi. Kasus ini membuka diskusi tentang bagaimana hukum pidana dapat diterapkan secara adil dalam konteks yang terus berubah, termasuk ketika hukum pidana masuk kedalam ranah hubungan industrial antara pelaku usaha dan pekerja.
Kasus ini tidak hanya menjadi pelajaran hukum tetapi juga menjadi cerminan dari realitas kehidupan modern. Di dunia yang semakin terhubung, kita dihadapkan pada kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi penanda penting bagi perjalanan hukum Indonesia dalam menjawab tantangan era digital.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email