“Ketika ketulusan tak lagi cukup untuk mempertahankan pernikahan, dan kesempatan yang diberikan hanya berbalas luka, hukum Indonesia menyediakan jalan bagi istri untuk menuntut keadilan melalui gugatan cerai.”
Pertanyaan:
Maaf, saya mau bertanya. Apakah saya bisa mengajukan gugatan cerai dengan alasan suami tidak mau berubah, padahal sudah saya beri kesempatan berkali-kali? Suami saya tidak jujur dan memiliki banyak sikap yang merugikan saya. Selain itu, meskipun saya sudah menikah, semua beban rumah tangga dibebankan kepada saya. Suami tidak mau membantu atau peduli dengan urusan keluarga. Apakah alasan seperti ini bisa menjadi dasar untuk menggugat cerai?
Jawaban:
Pertanyaan Anda mencerminkan kenyataan yang sunyi namun nyata dalam kehidupan rumah tangga: ketika cinta dan kesabaran tak lagi cukup untuk mengubah keadaan yang merugikan secara emosional, finansial, dan batin. Anda tidak sendirian. Banyak perempuan Indonesia yang berada dalam situasi serupa dan bertanya-tanya: apakah saya berhak memilih jalan keluar secara hukum?
Jawabannya: ya. Hukum Indonesia memberikan ruang bagi Anda untuk menggugat cerai, jika Anda dapat membuktikan bahwa suami telah gagal menjalankan kewajibannya, dan bahwa rumah tangga sudah tidak dapat diselamatkan lagi.
Dasar Hukum dan Prinsip Ultima Ratio
Hukum perkawinan Indonesia memandang perceraian sebagai langkah terakhir (ultima ratio). Prinsip ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan diperkuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi pasangan Muslim. Artinya, perceraian hanya dapat dilakukan jika telah ditempuh semua jalan untuk berdamai namun tidak membuahkan hasil.
Situasi rumah tangga yang Anda alami—ketidakjujuran yang berulang, keengganan untuk berubah meski sudah diberi banyak kesempatan, serta pembebanan tanggung jawab rumah tangga hanya pada satu pihak—secara hukum merupakan alasan yang sah untuk mengajukan gugatan cerai. Situasi ini pada pokoknya adalah mengenai ketimpangan yang menciptakan luka mental dan emosional jangka panjang.
Alasan yang Diakui Hukum untuk Menggugat Cerai
Dalam Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan bahwa perceraian dapat diajukan apabila terdapat alasan jika “antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus serta tidak ada harapan akan hidup rukun kembali.” Ketidakjujuran yang berulang, penelantaran ekonomi, dan sikap tidak peduli terhadap keluarga merupakan bentuk-bentuk yang dapat menciptakan konflik yang mendalam dan berkepanjangan.
Penting untuk diketahui bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2023, pada bagian C. Rumusan Hukum Kamar Agama Poin 1, memberikan pedoman penting bagi hakim dalam mengabulkan gugatan cerai berdasarkan alasan perselisihan. Dalam rumusan tersebut ditegaskan bahwa:
“Perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat enam (6) bulan, kecuali ditemukan fakta hukum adanya Tergugat atau Penggugat melakukan KDRT.”
Artinya, selain membuktikan adanya konflik yang tak kunjung selesai, Anda juga perlu menunjukkan bahwa Anda dan suami telah berpisah tempat tinggal setidaknya selama enam bulan, sebagai indikator bahwa keretakan rumah tangga bukanlah hal yang bersifat sesaat atau emosional semata. Namun, apabila dalam rumah tangga terdapat unsur kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), syarat waktu enam bulan tersebut tidak diperlukan. Fakta adanya kekerasan itu sendiri sudah cukup untuk memperkuat dasar hukum gugatan cerai.
Penegasan melalui SEMA ini menunjukkan bahwa Mahkamah Agung mendorong hakim untuk melihat persoalan rumah tangga tidak sekadar dari teks peraturan, tetapi juga dari realitas relasi kekuasaan dan dampak psikologisnya, terutama bagi pihak yang selama ini menjadi korban dalam rumah tangga.
Prosedur dan Tahapan Gugatan Cerai
Langkah pertama adalah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama jika Anda Muslim. Gugatan bisa diajukan sendiri atau dengan bantuan kuasa hukum. Surat gugatan harus merinci identitas, fakta-fakta yang melatarbelakangi gugatan, dan permintaan resmi kepada pengadilan untuk mengabulkan cerai.
Setelah itu, pengadilan akan memanggil kedua pihak untuk mediasi wajib. Mediasi bertujuan untuk melihat apakah rekonsiliasi masih mungkin. Meskipun Anda merasa tidak mungkin rujuk, Anda tetap diwajibkan mengikuti mediasi dengan itikad baik, sebagai syarat sahnya gugatan.
Jika mediasi gagal, persidangan akan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Anda harus mengajukan bukti dan saksi yang mendukung alasan Anda, seperti bukti penelantaran, rekaman komunikasi, dan kesaksian orang yang mengetahui kondisi rumah tangga Anda. Setelah itu, hakim akan menjatuhkan putusan berdasarkan bukti yang diajukan.
Hukum Tidak Menutup Mata terhadap Derita yang Diam
Hukum tidak menutup mata terhadap perempuan yang memikul seluruh beban rumah tangga sendiri. Jika suami tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dan tidak berubah meski diberi kesempatan berkali-kali, Anda memiliki hak untuk menuntut keadilan. Ini bukan semata soal ingin mengakhiri pernikahan, melainkan soal memperjuangkan harga diri, kesehatan jiwa, dan masa depan yang lebih bermartabat.
Kami menyarankan Anda segera berkonsultasi dengan advokat atau lembaga bantuan hukum untuk mendampingi proses hukum ini. Karena Anda layak mendapatkan kehidupan yang tenang, adil, dan setara dalam rumah tangga.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email