“Kisah perjuangan hak seorang pegawai tanpa perjanjian kerja tertulis melawan perusahaan, membawa kasusnya dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung.”
Di tengah hiruk-pik ekonomi yang tak kunjung stabil, kasus hukum yang melibatkan hak-hak karyawan sering kali menjadi cerminan nyata dari dinamika keadilan sosial di tempat kerja. Pada November 2015, sebuah saga hukum dimulai yang menyoroti betapa rumitnya hubungan antara pekerja dan pemberi kerja, terutama ketika perjanjian kerja tidak dituangkan dalam bentuk yang formal.
Awal Mula Perselisihan
Seorang pegawai, yang kita sebut saja Bapak A, memulai pekerjaannya tanpa perjanjian kerja tertulis dengan gaji bulanan. Tanpa adanya peraturan perusahaan yang jelas atau deskripsi pekerjaan yang spesifik, Bapak A menjalani hari-harinya dengan tanggung jawab yang tak terdefinisikan. Keadaan menjadi semakin rumit ketika perusahaan mulai menilai kinerjanya secara sepihak pada Maret 2016, tanpa diskusi atau feedback yang jelas, yang berujung pada penghentian pembayaran gajinya mulai April hingga September 2016.
Pengadilan dan Gugatan
Tak terima dengan perlakuan yang dia terima, Bapak A menolak tawaran kompensasi dan memutuskan untuk menuntut hak-haknya di Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia menuntut pembayaran pesangon dan hak-hak normatif lainnya yang jauh lebih tinggi dari tawaran perusahaan, berlandaskan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pengadilan tingkat pertama mengabulkan gugatannya sebagian, memberikan angin segar kepada Bapak A dan rekan-rekannya yang mungkin menghadapi situasi serupa.
Dinamika di Tingkat Banding
Namun, perusahaan tidak tinggal diam. Mereka mengajukan kasasi, membawa kasus ini ke Mahkamah Agung dengan argumen bahwa terjadi kekeliruan dalam penanganan fakta oleh pengadilan tingkat pertama. Kasus ini menjadi lebih rumit dengan adanya bukti-bukti baru yang dianggap belum tergali sepenuhnya.
Keputusan Mahkamah Agung
Dengan segala pertimbangan yang matang, Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan perusahaan. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menekankan bahwa Bapak A tidak dapat memenuhi kewajiban dan target kerja yang ditetapkan, sebuah faktor penting yang mempengaruhi keputusan pengadilan.
Kaidah Hukum dari Putusan Mahkamah Agung No 675 K/Pdt.Sus-PHI/2017
“Bahwa Judex Facti tidak mempertimbangkan bukti T.6A dan T.6B secara seksama, jika dipertimbangkan secara seksama maka dapat diperoleh fakta hukum bahwa Penggugat tidak dapat mengemban kewajibannya sebagai Marketplace secara baik atau tidak dapat mencapai target pekerjaan sementara posisi Penggugat sangat menentukan bagi perusahaan tergugat”
Pelajaran yang Dapat Dipetik
Kasus ini mengajarkan pentingnya memiliki perjanjian kerja yang jelas dan transparan. Juga, ia menegaskan pentingnya komunikasi dua arah antara pekerja dan pengelola di perusahaan. Bagi para pekerja, penting untuk memahami hak-hak mereka dan memastikan bahwa segala ketentuan kerja dijelaskan secara tertulis. Sementara bagi pengelola perusahaan, kasus ini menjadi pengingat bahwa penilaian kinerja harus dilakukan secara adil dan transparan, dengan dokumentasi yang memadai untuk mendukung setiap keputusan yang diambil.
Akhir Kata
Dalam dunia kerja yang serba cepat dan penuh tuntutan, kasus ini menegaskan kembali pentingnya keadilan, transparansi, dan etika profesional. Meski jalan menuju keadilan bisa panjang dan berliku, setiap langkah dalam mengadvokasi hak-hak pekerja adalah langkah menuju dunia kerja yang lebih adil dan etis.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)