“Sebuah surat keputusan bupati yang mencopot kepala desa di Sulawesi Tengah digugat hingga ke Mahkamah Agung. Putusannya mempertegas: prosedur tidak bisa diabaikan, meskipun kepala desa dituding melakukan pelanggaran berat.”
Sengketa tata usaha negara tak hanya terjadi di lingkup kementerian atau pemerintah pusat. Di sebuah desa di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, keputusan seorang bupati untuk mencopot kepala desa berujung pada gugatan hukum yang mencapai Mahkamah Agung.
Semua berawal dari diterbitkannya surat keputusan pemberhentian kepala desa, yang dalam dokumen tersebut juga langsung menunjuk penjabat baru. Tidak terima atas pencopotan tersebut, kepala desa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu, meminta agar SK bupati dibatalkan karena dianggap cacat prosedur dan melanggar asas kepastian hukum.
Tuduhan Pelanggaran dan Masalah Musyawarah BPD
Pihak penggugat mengklaim bahwa selama menjabat tidak pernah lalai dalam menjalankan tugasnya. Ia juga mempersoalkan keabsahan dasar hukum pemberhentian yang bersumber dari usulan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Menurutnya, surat dari BPD tidak melalui mekanisme musyawarah resmi karena hanya ditandatangani oleh ketua dan dua anggota, sementara dua anggota lainnya tidak hadir. Padahal, ketentuan hukum mewajibkan kehadiran dua pertiga dari total anggota BPD untuk dapat menghasilkan keputusan yang sah.
Di sisi lain, pihak pemerintah daerah menyatakan bahwa rapat BPD telah digelar dan menghasilkan keputusan bahwa kepala desa melakukan sejumlah pelanggaran berat. Mulai dari tidak membuat laporan keuangan hingga tidak menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa. Pemerintah daerah juga melampirkan dokumen putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, menyatakan bahwa kepala desa terbukti melakukan tindak pidana terkait pengelolaan dana desa.
PTUN: SK Bupati Cacat Prosedur
Majelis hakim PTUN Palu mengabulkan gugatan dan menyatakan bahwa surat keputusan bupati batal demi hukum. Alasan utamanya: keputusan BPD yang dijadikan dasar pemberhentian tidak merinci pelanggaran secara spesifik dan tidak merujuk pada pasal atau peraturan yang relevan. Frasa “melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan” dinilai terlalu umum dan tidak bisa digunakan sebagai dasar pencopotan jabatan publik.
Majelis juga menilai bahwa berita acara rapat BPD tidak memuat pernyataan tentang pelanggaran terhadap kepentingan umum, meskipun klausul tersebut tercantum dalam SK pemberhentian. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan antara isi rapat dengan dokumen hasilnya. Putusan juga menyoroti ketidakhadiran kuorum dalam rapat BPD, yang menjadi syarat penting dalam pengambilan keputusan.
Pendapat PTUN Palu dalam Putusan Nomor 02/G/2014/PTUN.PL
“Menimbang, bahwa terhadap Berita Acara dimaksud, Majelis Hakim berpendapat bahwa penyebutan klausul “melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan” bertentangan dengan asas kepastian hukum. Hal ini mengingat Pasal 17 ayat (2) huruf c, d, e, dan f Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa serta Pasal 16 huruf a sampai dengan huruf h PP yang sama telah secara spesifik merumuskan hal-hal yang menjadi kewenangan BPD dalam mengusulkan pemberhentian Kepala Desa.
Namun demikian, BPD Desa Betaua dalam usulannya tidak merujuk secara jelas pada salah satu ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang relevan. Oleh karena itu, menurut Majelis Hakim, penggunaan frasa “melanggar Peraturan Perundang-undangan” yang bersifat umum dan luas tidak dapat dibenarkan. Sebagai contoh, dalam hal Kepala Desa menjadi tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi, maka pemberhentiannya dapat dilakukan sementara tanpa memerlukan usulan dari BPD. Meskipun hal tersebut tergolong sebagai pelanggaran peraturan perundang-undangan, namun bukan merupakan kewenangan BPD untuk menindaklanjutinya dalam bentuk usulan pemberhentian.
Menimbang, bahwa dari 12 poin yang dibahas dalam Rapat BPD (vide Bukti Surat T-10) dan dirangkum dalam Surat Keputusan BPD Desa Betaua Nomor 03/SK/BPD-BT/XI/2013 tanggal 2 Desember 2013 (vide Bukti Surat T-12), dinyatakan bahwa tindakan Kepala Desa Betaua, Sdr. Ridwan Tawalili, terindikasi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum.
Namun demikian, Majelis menemukan bahwa dalam kesimpulan Berita Acara Rapat yang ditandatangani oleh tiga anggota BPD tersebut tidak terdapat rumusan atau pernyataan mengenai pelanggaran terhadap kepentingan umum. Oleh karena itu, penambahan klausul dalam SK BPD yang menyatakan bahwa Sdr. Ridwan Tawalili terindikasi menyalahi kepentingan umum tidak dapat dibenarkan secara hukum. Prosedur penerbitan keputusan usulan pemberhentian Kepala Desa harus didasarkan pada hasil rapat yang sah dan dituangkan dalam Berita Acara yang memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (4) PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Menimbang, bahwa pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan merupakan salah satu alasan hukum untuk memberhentikan Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d PP Nomor 72 Tahun 2005 jo. Pasal 31 ayat (2) huruf d Perda Kabupaten Tojo Una-Una Nomor 5 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pemilihan, Pencalonan, Pengangkatan, Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Desa.
Menimbang, bahwa dalam penjelasan pasal dimaksud ditegaskan bahwa pernyataan melanggar sumpah/janji jabatan harus ditetapkan melalui Keputusan Pengadilan. Namun, berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terdapat penetapan atau putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Penggugat telah melanggar sumpah/janji jabatannya.”
PTTUN dan MA Sepakat: SK Bupati Tidak Sah
Upaya banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar ditolak. Pengadilan tingkat banding memperkuat putusan PTUN. Pemerintah daerah kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun kembali gagal.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa surat keputusan pemberhentian kepala desa bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dan Pasal 31 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Nomor 5 Tahun 2013. Kedua regulasi tersebut mensyaratkan bahwa pelanggaran sumpah/janji jabatan harus dibuktikan melalui putusan pengadilan, bukan sekadar klaim administratif.
Dengan demikian, Mahkamah menolak permohonan kasasi pemerintah daerah dan menegaskan bahwa SK bupati tersebut tidak sah secara hukum.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No 532 K/TUN/2015
“Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi Objek Sengketa a quo, yang diterbitkan oleh Tergugat, secara substansial bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 juncto Pasal 31 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Nomor 5 Tahun 2013.”
Preseden Penting dalam Hukum Tata Usaha Negara
Sengketa ini menjadi pelajaran penting bagi para pejabat publik di daerah, khususnya kepala daerah yang memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan pejabat di bawahnya. Putusan Mahkamah Agung menegaskan bahwa kewenangan tanpa prosedur adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sistem hukum yang menjunjung asas legalitas, prosedur sama pentingnya dengan substansi.
Satu hal yang menonjol dari perkara ini adalah peran pengadilan dalam menyeimbangkan kekuasaan eksekutif dan kepastian hukum administratif. Proses pengambilan keputusan publik—sekalipun terkait dengan pelanggaran nyata—tetap harus mengikuti aturan main yang berlaku. Ketika prosedur dilanggar, hukum akan bertindak.