“Rancangan KUHAP 2025 mengubah fondasi hukum acara pidana Indonesia. Di balik ketentuan soal alat bukti dan struktur putusan, ada upaya serius untuk menyeimbangkan kepastian hukum dengan perlindungan hak-hak Terdakwa.”
RKUHAP dan Paradigma Baru dalam Penjatuhan Putusan Pidana
Pembuktian yang sah dan meyakinkan tetap menjadi pilar utama bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana. Namun, dalam RKUHAP versi Maret 2025, terdapat penyempurnaan sistematis terhadap jenis-jenis putusan, syarat sah alat bukti, hingga mekanisme pembebasan Terdakwa. Hakim hanya dapat menyatakan Terdakwa bersalah apabila unsur delik terbukti melalui proses pemeriksaan di sidang yang sah dan meyakinkan. Ini bukan sekadar teknis pembuktian, melainkan manifestasi asas due process of law.
Hakim memiliki empat opsi putusan: pemidanaan, bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, dan pemaafan. Masing-masing putusan didasarkan pada kondisi objektif hasil pembuktian dan keadaan subyektif pelaku. Dalam putusan pemaafan, misalnya, meskipun kesalahan terbukti, pidana tidak dijatuhkan demi keadilan dan kemanusiaan. Putusan ini, meski jarang digunakan, menjadi jendela etika dalam hukum pidana modern.
Putusan Sah Hanya Berdasarkan Alat Bukti yang Sah
Salah satu poin krusial dalam RKUHAP 2025 adalah ketegasan soal alat bukti. Undang-undang ini menegaskan bahwa tidak semua pengakuan bisa mengantar pada pemidanaan. Keterangan Terdakwa semata tidak cukup; harus ada setidaknya satu alat bukti lain yang sah. Ketentuan ini menyaring potensi kriminalisasi berbasis tekanan atau intimidasi dalam proses interogasi.
Hakim juga diberi wewenang mengevaluasi keaslian dan legalitas perolehan alat bukti. Bila ditemukan alat bukti diperoleh secara melawan hukum, bukti tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian. Ini secara jelas mencerminkan prinsip exclusionary rule, dan menjadi penegasan bahwa keadilan prosedural tak bisa dikorbankan atas nama efisiensi.
Komposisi Putusan dan Implikasinya
Setiap putusan pemidanaan wajib mencantumkan identitas Terdakwa, uraian dakwaan, pasal yang dilanggar, hingga biaya perkara dan nasib barang bukti. Jika ketentuan ini tidak dipenuhi, putusan bisa batal demi hukum. Sebaliknya, dalam putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, komponen seperti pernyataan kesalahan atau pertimbangan yang memberatkan/meringankan tidak diperlukan, namun alasan pembebasan harus dijelaskan dengan pasal pendukung yang jelas.
Tak kalah penting, Penuntut Umum wajib melaksanakan pelepasan Terdakwa maksimal satu hari setelah putusan bebas atau lepas dibacakan. Ini menandai akuntabilitas eksekutif dalam menghormati putusan yudikatif.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email