“RKUHAP 2025 mengatur ulang konsep penggeledahan dan penyitaan sebagai bagian dari upaya paksa, dengan mekanisme ketat dan jaminan hukum bagi warga negara. Bagaimana sebenarnya prosedur ini dijalankan? Siapa yang dapat dikenai dan sejauh mana kewenangan aparat penegak hukum?”
Ketika Penegakan Hukum Menyentuh Ruang Privat
Dalam sistem hukum pidana, penggeledahan dan penyitaan adalah tindakan yang sangat sensitif. Keduanya merupakan bentuk upaya paksa, artinya dilakukan dengan membatasi hak kebebasan individu atau penguasaan atas harta benda seseorang. Dalam Rancangan KUHAP versi Maret 2025, tindakan ini diatur secara lebih rinci dan berimbang: di satu sisi memberikan kewenangan pada penyidik, namun di sisi lain menegaskan batas dan prosedur untuk melindungi hak-hak warga negara.
Penggeledahan: Tidak Bisa Dilakukan Sembarangan
Penggeledahan didefinisikan sebagai pemeriksaan terhadap objek yang dimiliki atau dikuasai seseorang, termasuk rumah, bangunan, kendaraan, badan, pakaian, hingga dokumen dan informasi elektronik. Namun, sebelum menyentuh pintu rumah seseorang, penyidik wajib mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri. Permohonan ini harus menjelaskan lokasi, alasan, dan keyakinan adanya barang bukti.
Dalam kondisi mendesak, penggeledahan tetap bisa dilakukan tanpa izin lebih dulu, tapi penyidik hanya boleh menunjukkan tanda pengenalnya dan wajib segera melaporkan ke pengadilan. Namun, RKUHAP secara tegas melarang penggeledahan terhadap tempat yang sedang digunakan untuk sidang DPR, ibadah, atau persidangan lain. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap lembaga dan kegiatan yang dilindungi oleh konstitusi.
Setiap tindakan penggeledahan wajib dicatat dalam berita acara, yang ditandatangani oleh penyidik dan saksi dari lingkungan tempat berlangsungnya penggeledahan. Untuk penggeledahan terhadap badan perempuan, harus dilakukan oleh petugas wanita, dan pemeriksaan rongga tubuh hanya boleh dilakukan dengan bantuan tenaga medis.
Penyitaan: Hanya untuk Barang Terkait Tindak Pidana
Penyitaan adalah tindakan penyidik untuk mengambil alih benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, demi kepentingan pembuktian. Prosedurnya hampir sama dengan penggeledahan—penyidik harus menunjukkan identitas dan surat izin dari ketua pengadilan negeri, kecuali dalam kasus tertangkap tangan.
Jenis benda yang bisa disita cukup luas: mulai dari hasil tindak pidana, alat yang digunakan untuk kejahatan, dokumen, aset digital, hingga barang yang bisa digunakan untuk menghalangi proses penyidikan. Bahkan benda yang sudah berada dalam sitaan perkara perdata bisa kembali disita untuk kepentingan pidana.
Menariknya, dalam situasi tertentu, penyidik juga boleh menyita paket atau surat dari kantor pos, telekomunikasi, atau jasa pengangkutan jika terindikasi berasal dari atau ditujukan kepada tersangka. Jika benda sitaan mengandung informasi rahasia (selain rahasia negara), persetujuan dari pemilik atau izin pengadilan tetap diperlukan.
Seperti penggeledahan, penyitaan pun wajib dibuatkan berita acara, yang disampaikan kepada pemilik, ketua pengadilan, dan atasan penyidik. Benda sitaan dilarang digunakan untuk tujuan apapun di luar pembuktian perkara dan harus disimpan secara aman di rumah penyimpanan negara atau tempat resmi yang ditentukan.
Perlindungan Terhadap Hak Tersangka dan Pemilik
RKUHAP 2025 menekankan bahwa semua benda sitaan harus dikembalikan apabila tidak lagi dibutuhkan atau jika perkara tidak dilanjutkan karena tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, atau ditutup demi hukum. Pengembalian harus dilakukan paling lambat tujuh hari setelah diputuskan bahwa benda tersebut tidak lagi diperlukan. Jika perkara sudah diputus, benda dikembalikan kepada yang berhak, kecuali jika ditetapkan untuk dimusnahkan atau dirampas untuk negara.
Dalam kasus benda yang mudah rusak atau mahal biaya penyimpanannya, lelang bisa dilakukan. Namun, pelelangan ini hanya boleh dilakukan dengan izin pengadilan dan disaksikan oleh pihak tersangka dan/atau kuasa hukumnya.
Menegakkan Hukum Tanpa Melanggar Hak
Melalui pengaturan rinci ini, RKUHAP 2025 mencoba menyeimbangkan dua hal yang sering dianggap bertentangan: efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Negara diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan paksa, tetapi dengan syarat-syarat yang ketat, transparan, dan dapat diawasi.
Bagi warga, penting untuk mengetahui bahwa dalam setiap tindakan penggeledahan dan penyitaan, ada prosedur hukum yang wajib dipenuhi. Jika prosedur tersebut dilanggar, maka berdasarkan prinsip exclusionary rule yang diakui RKUHAP, barang bukti yang diperoleh secara melawan hukum tidak dapat digunakan di persidangan.
Dengan demikian, sistem ini bukan hanya soal memberantas kejahatan, tetapi juga memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan cara yang adil.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email