“Putusan MA No. 18 K/Pdt.Sus-PHI/2025 menegaskan bahwa status pekerja ditentukan berdasarkan fakta hubungan kerja nyata, bukan sekadar label administratif.”
Dalam dunia ketenagakerjaan, perdebatan mengenai status hubungan kerja sering kali menjadi sengketa hukum yang kompleks. Salah satu perkara yang menarik perhatian adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 18 K/Pdt.Sus-PHI/2025, yang menegaskan pentingnya substansi hubungan kerja dibandingkan label administratif yang diberikan oleh perusahaan.
Latar Belakang Sengketa Status Kerja
Perkara ini bermula dari meninggalnya seorang sopir truk yang telah lama bekerja mengemudikan truk antar-kota untuk perusahaan. Pihak keluarga, melalui kuasa hukumnya, mengklaim bahwa almarhum adalah pekerja tetap dan berhak atas uang pesangon, penghargaan masa kerja, serta kompensasi lainnya sebagaimana diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan nasional.
Namun, perusahaan membantah klaim tersebut dengan menyatakan bahwa hubungan kerja yang terjalin adalah hubungan kerja harian borongan. Perusahaan menegaskan bahwa pembayaran kepada almarhum dilakukan berdasarkan sistem trip, tanpa ikatan kerja tetap, tanpa kontrak kerja formal, dan tanpa kepesertaan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Gugatan ahli waris diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Medan. Setelah memeriksa bukti surat, keterangan saksi, dan fakta persidangan, PHI menyimpulkan bahwa hubungan kerja antara almarhum dan perusahaan adalah murni hubungan kerja harian borongan. Karena itu, PHI menolak seluruh gugatan ahli waris, dengan alasan bahwa almarhum tidak memenuhi karakteristik pekerja tetap seperti keterikatan jam kerja, upah bulanan tetap, atau subordinasi langsung terhadap perusahaan.
Pertimbangan Mahkamah Agung: Hakikat Hubungan Kerja Lebih Penting dari Label
Kasus ini berlanjut ke tingkat kasasi. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menilai bahwa status hubungan kerja tidak semata-mata ditentukan oleh istilah “mitra kerja” atau “harian borongan” yang digunakan perusahaan, melainkan harus berdasarkan fakta hubungan kerja nyata di lapangan.
Mahkamah Agung menemukan bahwa selama bekerja, almarhum tunduk pada perintah, ketentuan, dan pengaturan dari perusahaan, menerima upah secara rutin, serta melakukan pekerjaan yang menjadi bagian integral dari operasional perusahaan. Unsur pekerjaan, perintah, dan upah yang terpenuhi menunjukkan bahwa hubungan tersebut merupakan hubungan kerja tetap, bukan kemitraan atau borongan.
Pendapat Mahkamah Agung pada Putusan MA Nomor 18 K/Pdt.Sus-PHI/2025
“Bahwa Tergugat yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha angkutan darat yang berdiri pada tanggal 9 Juni 2016 berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas di Farida Hanum, S.H., Notaris (vide Bukti T1, T2, T3, T4, T5, T6 dan T7), maka tidak tepat Tergugat mempekerjakan orang tua Penggugat yang bekerja sebagai driver dengan dasar hubungan pemborongan kerja;
Bahwa Tergugat yang merupakan perusahaan angkutan darat dan mempekerjakan Sdr. Poniman S. sebagai driver dengan tugas mengirimkan barang-barang sesuai dengan perintah dari Tergugat, maka status hubungan kerja harus ditetapkan adalah bekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sejak tanggal 9 Juni 2016 sesuai dengan ketentuan (vide Pasal 59 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang)”
Amar Putusan dan Hak Ahli Waris
Dalam amar putusannya, Mahkamah Agung membatalkan putusan PHI Medan dan mengabulkan gugatan ahli waris untuk sebagian. MA menetapkan bahwa hubungan kerja antara almarhum dan perusahaan berakhir karena kematian, dan perusahaan diwajibkan membayar hak-hak ketenagakerjaan kepada ahli waris sebesar Rp75.500.000.
Putusan ini memberikan kejelasan bahwa kematian pekerja tidak menghapus kewajiban perusahaan untuk memenuhi hak-hak ketenagakerjaan yang sudah melekat. Hak tersebut berpindah kepada ahli waris sebagai bagian dari hak perdata yang harus dilindungi.
Implikasi Putusan terhadap Dunia Ketenagakerjaan
Putusan Mahkamah Agung ini memperkuat prinsip bahwa pengusaha tidak dapat menghindari kewajiban ketenagakerjaan hanya dengan menyematkan istilah “mitra” atau “borongan” kepada pekerjanya. Substansi hubungan yang sebenarnya—bukan sekadar label—menjadi dasar penentuan status kerja.
Bagi pekerja, putusan ini menjadi penegasan penting bahwa hak-hak ketenagakerjaan harus dihormati, terlepas dari bentuk atau istilah kontrak yang digunakan. Bagi perusahaan, ini menjadi peringatan bahwa praktik labeling hubungan kerja secara sepihak tidak akan melindungi mereka dari tanggung jawab hukum.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Agung No. 18 K/Pdt.Sus-PHI/2025 menunjukkan keberpihakan hukum terhadap substansi hubungan kerja yang nyata. Mahkamah Agung menegaskan bahwa istilah administratif seperti “mitra kerja” atau “harian borongan” tidak boleh digunakan untuk mengelabui hak-hak pekerja. Kepastian perlindungan hukum bagi pekerja, termasuk bagi ahli waris pekerja yang meninggal dunia, tetap menjadi prioritas dalam prinsip keadilan ketenagakerjaan di Indonesia.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email