“Putusan Mahkamah Agung No. 545 K/Pid.Sus/2011 menjadi salah satu kasus yang menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Fulan, seorang karyawan berusia 30 tahun, terjerat dalam tuduhan kepemilikan narkotika setelah penggeledahan yang dipenuhi kejanggalan dan pelanggaran hak asasi.’
Kronologi Kasus: Dari Interogasi hingga Tuduhan Narkotika
Pada Senin, 14 Desember 2009, Fulan berada di ruang rapat lantai 8 di suatu Gedung yang terletak di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saat itu ia diinterogasi oleh anggota kepolisian terkait dugaan kepemilikan senjata api ilegal. Namun, kecurigaan terhadap Fulan meningkat ketika, setelah penggeledahan, ditemukan serbuk putih kebiruan di dompetnya yang diduga sebagai narkotika jenis ecstasy. Barang tersebut disembunyikan dalam lipatan uang Rp 50.000 di antara kartu NPWP dan sebuah kartu lain bertuliskan “Berbakti untuk Jambi”.
Saat diinterogasi, Fulan mengaku bahwa barang tersebut adalah miliknya dan merupakan sisa dari satu butir ecstasy yang ia dapatkan dari temannya di suatu Karaoke. Hasil laboratorium forensik kemudian mengonfirmasi bahwa serbuk tersebut mengandung MDMA, suatu zat yang terdaftar dalam golongan I narkotika berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009.
Dakwaan Jaksa: Pasal Berat yang Menjerat Fulan
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Fulan dengan dua dakwaan, yakni dakwaan primair dan subsidair. Dakwaan primair mengacu pada Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, yang mengatur tentang kepemilikan narkotika golongan I tanpa hak. Ancaman hukuman pasal ini sangat berat, dengan minimal 4 tahun penjara dan maksimal 12 tahun, serta denda mulai dari Rp 800 juta hingga Rp 8 miliar. Sementara itu, dakwaan subsidair didasarkan pada Pasal 127 ayat (1), yang menyatakan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun.
Putusan Pengadilan: Proses yang Berliku
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan awalnya menyatakan surat dakwaan batal demi hukum. Namun, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, yang memutuskan bahwa Fulan terbukti bersalah menyimpan narkotika dan menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp 800 juta.
Putusan ini memperlihatkan perjalanan hukum yang tidak selalu mudah bagi terdakwa, terutama ketika dakwaan didasarkan pada proses penggeledahan dan interogasi yang penuh pelanggaran prosedural.
Mencari Keadilan di Mahkamah Agung
Fulan mengajukan kasasi dengan beberapa alasan yang kuat. Salah satunya adalah bahwa proses penggeledahan dan interogasi dilaksanakan dengan melanggar prosedur hukum yang berlaku. Selama interogasi, Fulan mengalami penganiayaan dan penyekapan, serta diinterogasi tanpa didampingi penasihat hukum. Lebih jauh, beberapa keterangan penting, seperti Berita Acara Penggeledahan, dibuat oleh pejabat yang tidak hadir saat penggeledahan.
Pengadilan Tinggi Jakarta, menurut kuasa hukum Fulan, juga gagal mempertimbangkan bukti penting, termasuk keterangan ahli dan pelanggaran hak-hak dasar Fulan selama proses interogasi. Selain itu, terdapat pengakuan dari Kadiv Propam Mabes Polri yang menyatakan bahwa kasus ini diduga merupakan rekayasa.
Putusan Mahkamah Agung: Membatalkan Hukuman Fulan
Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan permohonan kasasi Fulan dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung mencatat sejumlah pelanggaran serius, termasuk penganiayaan terhadap Fulan, proses interogasi yang tidak sah, dan tidak adanya pendampingan hukum bagi Fulan selama pemeriksaan.
Putusan ini tidak hanya membebaskan Fulan dari tuduhan, tetapi juga menyoroti pentingnya menegakkan hak-hak dasar terdakwa selama proses hukum. Mahkamah Agung menyatakan bahwa seluruh Berita Acara yang digunakan sebagai dasar dakwaan cacat hukum, sehingga dakwaan jaksa pun menjadi tidak sah.
Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor No. 545 K/Pid.Sus/2011
“Selama pemeriksaan, Terdakwa tidak didampingi oleh penasihat hukum. Selain itu, Berita Acara Penggeledahan dan Pernyataan tertanggal 15 Desember 2009 ternyata dibuat oleh pejabat yang tidak melakukan tindakan tersebut, melainkan oleh petugas lain.
Dengan demikian, Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa dan Berita Acara Penggeledahan dianggap tidak sah dan cacat hukum. Akibatnya, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun berdasarkan Berita Acara tersebut juga menjadi tidak sah dan cacat hukum.”
Penutup: Pelajaran dari Kasus Fulan
Kasus Fulan adalah pengingat bagi sistem hukum Indonesia bahwa proses hukum yang adil dan transparan adalah fondasi keadilan. Pelanggaran hak-hak dasar terdakwa tidak hanya merusak kepercayaan terhadap sistem peradilan, tetapi juga dapat berakibat pada putusan yang tidak tepat. Mahkamah Agung, melalui putusan ini, menegaskan bahwa penegakan hukum harus selalu berdasarkan asas keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)