“Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Penuntut Umum dalam perkara korupsi proyek air bersih Karangasem. Terdakwa dinyatakan bersalah dan korporasi PT. Adhi Karya diperintahkan mengganti kerugian negara Rp3,3 miliar akibat penggunaan pipa non-SNI.”
Korupsi Air Bersih Karangasem: Dari Pipa Tipis ke Jeruji Tipis
Proyek pengadaan jaringan air bersih di empat kecamatan Kabupaten Karangasem yang semula ditujukan untuk menyediakan pasokan air layak bagi masyarakat, justru berujung pada kasus pidana korupsi. Nilainya tidak kecil: hampir Rp30 miliar dari dana APBD.
Terdakwa yang merupakan Kepala Divisi VII PT. Adhi Karya (Persero) Tbk., ditunjuk sebagai pelaksana proyek setelah lelang diubah secara melawan hukum oleh Kepala Dinas PU setempat. Padahal PT. Adhi Karya bukan penawar terendah dan alasan pengguguran pesaingnya tidak berdasar dokumen lelang.
Pipa Murah, Kualitas Muram
Masalah tidak berhenti di sana. Dalam pelaksanaan proyek, Terdakwa memerintahkan bawahannya untuk mengganti pipa Galvanis (GIP) standar SNI dengan pipa non-SNI dari PT. Spindo. Ketebalan dinding pipa lebih tipis dari yang disyaratkan kontrak. Harganya pun jauh lebih murah.
Ahli dari ITB menyatakan pipa non-SNI tersebut rentan korosi, berumur pendek, dan sulit dideteksi jika bocor karena ditanam di bawah tanah. Akibatnya, kualitas layanan air kepada warga terancam sejak awal.
Pengadilan Negeri: Hanya Dua Tahun dan Tanpa Uang Pengganti
Terdakwa dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor Denpasar. Namun, hukuman yang dijatuhkan relatif ringan: dua tahun penjara dan denda Rp50 juta. Pengadilan tidak mewajibkan pengembalian kerugian negara karena keuntungan dianggap dinikmati oleh perusahaan, bukan pribadi.
Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Denpasar.
Mahkamah Agung: Tanggung Jawab Korporasi
Penuntut Umum tidak puas dan mengajukan kasasi. Mahkamah Agung mengoreksi putusan dua tingkat sebelumnya. Dalam pertimbangannya, MA menilai kerugian negara akibat penggunaan pipa non-SNI mencapai Rp3,3 miliar berdasarkan audit BPKP. Dananya disetorkan Terdakwa ke perusahaan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Dengan demikian, Mahkamah Agung menyatakan bahwa PT. Adhi Karya harus mengganti kerugian negara. Tindakan Terdakwa dinilai memenuhi unsur Pasal 2 UU Tipikor: memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum.
Pendapat Mahkamah Agung pada Putusan No 1577 K/PID.SUS/2016
“Bahwa pertimbangan Judex Facti yang menyatakan bahwa penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya dapat dibebankan kepada Terpidana yang menikmati adalah keliru. Dalam perkara a quo, uang pengganti sebesar Rp3.339.242.402,00 (tiga miliar tiga ratus tiga puluh sembilan juta dua ratus empat puluh dua ribu empat ratus dua rupiah) tersebut lebih tepat dibebankan kepada korporasi tempat Terdakwa bertindak melaksanakan Surat Perjanjian Kerja untuk dan atas nama PT Adhi Karya (Persero) Tbk., walaupun PT Adhi Karya (Persero) Tbk. sebagai korporasi tidak turut dijadikan Terdakwa oleh Penuntut Umum.
Bahwa seiring dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka uang pengganti sebesar Rp3.339.242.402,00 (tiga miliar tiga ratus tiga puluh sembilan juta dua ratus empat puluh dua ribu empat ratus dua rupiah) akan dibebankan kepada PT Adhi Karya (Persero) Tbk., karena Terdakwa selain bekerja untuk dan atas nama PT Adhi Karya (Persero) Tbk., selisih harga yang menjadi kerugian keuangan negara itu telah disetorkan oleh Terdakwa ke PT Adhi Karya, sehingga Terdakwa tidak terbukti memperoleh dan menikmatinya.
Bahwa pembebanan uang pengganti kepada PT Adhi Karya (Persero) Tbk. adalah adil, karena sebagai Persero, PT Adhi Karya (Persero) Tbk. adalah milik negara, sehingga pembayaran uang pengganti itu tidak akan tersendat, karena ibarat “keluar dari kantong kiri masuk kantong kanan”.
Bahwa pembebanan uang pengganti kepada korporasi dalam perkara a quo, kendati tidak masuk dalam dakwaan Penuntut Umum, namun hal tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 787 K/Pid.Sus/2014 yang melibatkan PT Indosat Mega Media sebagai korporasi.”
Putusan ini memperkuat prinsip akuntabilitas korporasi dalam tindak pidana korupsi, bahwa pelaku tidak bisa sembunyi di balik badan hukum, apalagi ketika tindakannya memberi keuntungan langsung pada perusahaan.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email