“Ketika istri meninggalkan rumah bersama selingkuhan dan tak diketahui keberadaannya, apakah suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah? Simak penjelasan hukumnya dalam artikel ini.”
Pertanyaan dari Pembaca:
Selamat malam, saya ingin bertanya. Jika seorang istri pergi meninggalkan rumah bersama selingkuhannya, meninggalkan suami dan anak-anak, dan hingga saat ini keberadaannya tidak diketahui, apakah suami secara hukum negara masih memiliki kewajiban untuk menafkahi istri tersebut?
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaannya. Situasi seperti ini tentu tidak hanya berat secara emosional, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius dalam aspek hukum rumah tangga, khususnya soal kewajiban nafkah suami kepada istri. Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, terutama Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kewajiban Nafkah dalam Perkawinan
Menurut hukum Islam yang diadopsi dalam sistem hukum Indonesia, selama hubungan perkawinan masih sah, suami memiliki kewajiban untuk menafkahi istri. Nafkah tersebut mencakup makanan, pakaian (kiswah), dan tempat tinggal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun, ada pengecualian ketika istri terbukti melakukan nusyuz—yaitu pembangkangan terhadap suami tanpa alasan yang sah.
Nusyuz dan Akibat Hukumnya
Pasal 80 ayat (7) KHI menyatakan bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah gugur apabila istri nusyuz. Artinya, apabila istri meninggalkan rumah tanpa izin, tidak menjalankan kewajiban sebagai istri, atau hidup bersama pria lain, maka ia bisa dianggap nusyuz dan kehilangan hak atas nafkah, kiswah, dan tempat tinggal.
Namun, apabila istri menghentikan perilaku nusyuz—misalnya dengan kembali ke rumah dan menunjukkan niat untuk memperbaiki hubungan—maka kewajiban nafkah dari suami akan kembali berlaku.
Prosedur Penetapan Nusyuz Melalui Pengadilan Agama
Penting untuk diketahui bahwa status nusyuz tidak berlaku otomatis, melainkan harus ditetapkan melalui proses hukum di Pengadilan Agama. Inilah langkah-langkah formal yang harus dilakukan:
Pengajuan Gugatan:
Suami mengajukan gugatan atau tuntutan penetapan nusyuz ke Pengadilan Agama, disertai dengan bukti dan fakta yang mendukung tuduhan nusyuz terhadap istri. Bukti bisa berupa keterangan saksi, dokumentasi, atau laporan pihak berwenang.
Pemanggilan dan Pemeriksaan:
Pengadilan akan memanggil kedua belah pihak untuk memberikan keterangan. Jika istri mengakui perbuatannya atau tidak hadir/membantah secara sah, dan pengadilan yakin dengan bukti yang ada, maka pengadilan dapat menetapkan istri berstatus nusyuz.
Tahap Peringatan:
Sebelum menetapkan nusyuz secara resmi, pengadilan biasanya memberikan peringatan atau perintah kepada istri agar kembali taat kepada suami dalam jangka waktu tertentu. Jika peringatan ini tidak diindahkan, barulah pengadilan menetapkan nusyuz.
Penetapan dan Akibat Hukum:
Setelah ditetapkan sebagai nusyuz, maka kewajiban suami untuk menafkahi istri gugur selama istri tetap dalam keadaan nusyuz. Namun, jika di kemudian hari istri bertaubat dan kembali menjalankan kewajibannya, kewajiban nafkah akan otomatis kembali berlaku.
Prosedur ini dirancang untuk melindungi keadilan kedua belah pihak dan menghindari penyalahgunaan tuduhan nusyuz hanya untuk menghindari kewajiban nafkah.
Nusyuz Tidak Sama dengan Perceraian
Perlu dipahami bahwa nusyuz bukanlah perceraian. Nusyuz adalah kondisi pembangkangan dalam rumah tangga yang dapat menjadi dasar bagi suami untuk mengajukan gugatan cerai, tetapi tidak menyebabkan perceraian secara otomatis.
Dalam praktik di Pengadilan Agama Indonesia, tindakan nusyuz sering dijadikan alasan oleh suami dalam gugatan cerai, dan akan memengaruhi sejumlah hak istri pasca-cerai, seperti:
- Nafkah iddah (nafkah selama masa tunggu)
- Mut’ah (pemberian suami sebagai penghibur hati)
- Hak asuh anak (yang akan dilihat dari kepatutan dan kepentingan anak)
Namun, perceraian hanya akan terjadi jika diajukan oleh salah satu pihak dan dikabulkan oleh pengadilan melalui putusan yang sah.
Kesimpulan
Jika istri pergi bersama selingkuhan dan meninggalkan suami serta anak-anak tanpa alasan sah, maka secara hukum ia dapat dikategorikan sebagai istri nusyuz. Dalam keadaan tersebut, suami tidak lagi berkewajiban memberikan nafkah, tetapi penghentian kewajiban tersebut harus ditetapkan melalui putusan Pengadilan Agama.
Meski demikian, kewajiban suami terhadap anak-anak tetap berlaku penuh dan tidak dapat gugur akibat tindakan istri. Nusyuz juga tidak otomatis mengakibatkan perceraian, namun bisa menjadi dasar bagi suami untuk mengajukan gugatan cerai.
Jika Anda berada dalam situasi seperti ini, sangat disarankan untuk segera berkonsultasi dengan advokat atau mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama agar memperoleh kepastian hukum dan melindungi hak-hak Anda sebagai suami dan ayah.
—
Jika Anda memerlukan pendampingan hukum lebih lanjut atau konsultasi online lainnya, silakan kunjungi tautan berikut: https://lawcenter.id/konsultasi-hukum/
Dapatkan solusi hukum yang tepat dan profesional sesuai kebutuhan Anda.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email