“Perceraian saat istri sedang hamil sering menimbulkan dilema moral dan hukum. Tapi, apakah secara hukum hal tersebut diperbolehkan? Dan bagaimana tanggung jawab finansial suami terhadap anak dalam kandungan?”
Pertanyaan dari Pembaca:
“Apakah suami boleh menceraikan istri yang sedang hamil? Jika perceraian itu tetap dilakukan, apakah suami masih punya kewajiban untuk menafkahi anak yang ada dalam kandungan? Saya ingin tahu bagaimana pandangan hukum di Indonesia, baik menurut Undang-Undang Perkawinan maupun hukum Islam, terkait hal ini.”
Jawaban:
Tidak Ada Larangan Perceraian Saat Istri Hamil dalam Hukum Indonesia
Pertanyaan apakah suami boleh menceraikan istri yang sedang hamil sering muncul dalam praktik. Dalam sistem hukum di Indonesia, baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tidak ditemukan satu ketentuan pun yang secara eksplisit melarang perceraian saat istri dalam keadaan hamil.
Yang diatur justru adalah alasan-alasan sah untuk mengajukan perceraian, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, antara lain:
-
Adanya perbuatan zina, mabuk, kecanduan, atau perjudian yang sulit disembuhkan.
-
Salah satu pihak meninggalkan pasangannya selama dua tahun tanpa alasan yang sah.
-
Salah satu pihak dihukum penjara lima tahun atau lebih.
-
Terjadi kekerasan berat dalam rumah tangga.
-
Cacat atau penyakit yang menyebabkan ketidakmampuan menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.
-
Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus tanpa harapan bisa rukun kembali.
Dengan demikian, perceraian tetap dapat dilakukan selama salah satu atau lebih dari alasan di atas dapat dibuktikan di pengadilan, meskipun istri sedang dalam kondisi hamil.
Janin dalam Kandungan Memiliki Hak yang Sama dengan Anak yang Telah Lahir
Meskipun perceraian di saat kehamilan diperbolehkan, hak-hak anak dalam kandungan tetap harus dilindungi secara hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUH Perdata, yang menyatakan:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah ada.”
Artinya, hukum Indonesia mengakui bahwa anak dalam kandungan sudah dianggap sebagai subjek hukum, dan karena itu berhak atas perlindungan, termasuk perlindungan finansial dari orang tuanya.
Kewajiban Finansial Ayah Tetap Berlaku Meski Telah Bercerai
Undang-Undang Perkawinan menyebut secara jelas dalam Pasal 41 huruf c, bahwa setelah terjadi perceraian:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”
Kewajiban finansial ini menyangkut kebutuhan anak, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Lebih lanjut, Kompilasi Hukum Islam mempertegas tanggung jawab ini dalam Pasal 105 KHI, yang menetapkan bahwa:
-
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum 12 tahun) menjadi hak ibu.
-
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih.
-
Biaya pemeliharaan tetap menjadi tanggung jawab ayah.
Sementara itu, Pasal 156 huruf d KHI menegaskan:
“Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).”
Dengan demikian, perceraian tidak membebaskan seorang ayah dari tanggung jawab menafkahi anak, baik anak yang telah lahir maupun yang masih dalam kandungan.
Kesimpulan
Secara hukum, tidak ada larangan untuk mengajukan perceraian saat istri sedang hamil, selama alasan perceraian sesuai dengan yang diatur dalam UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975. Namun, hak anak dalam kandungan tetap dilindungi penuh oleh hukum, termasuk hak untuk mendapatkan nafkah dari ayahnya.
Perceraian hanya mengakhiri hubungan suami-istri, tetapi tidak menghapus tanggung jawab sebagai orang tua, terutama dalam hal pemeliharaan dan pembiayaan hidup anak. Oleh karena itu, baik pihak suami maupun istri tetap memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang layak, meski tidak lagi tinggal dalam satu rumah.
—
Jika Anda memerlukan pendampingan hukum lebih lanjut atau konsultasi online lainnya, silakan kunjungi tautan berikut: https://lawcenter.id/konsultasi-hukum/
Dapatkan solusi hukum yang tepat dan profesional sesuai kebutuhan Anda.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email