“Alasan sakit dalam pemeriksaan pidana diatur hukum dengan batasan tegas, memastikan proses hukum tetap adil tanpa mengabaikan hak tersangka.”
Dalam dinamika proses hukum pidana, kondisi kesehatan tersangka atau terdakwa sering kali menjadi faktor yang memengaruhi jalannya pemeriksaan. Baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan, maupun persidangan, sakit kerap menjadi alasan yang diajukan untuk menunda atau bahkan menghalangi kelanjutan proses hukum. Namun, sejauh mana alasan sakit dapat dibenarkan menurut hukum? Dan bagaimana hukum mengatur agar hak tersangka tetap dihormati tanpa mengorbankan penyelesaian perkara?
Sakit dalam Perspektif Hukum Pidana
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), konsep sakit lebih sering merujuk pada gangguan kejiwaan. Pasal 44 KUHP, misalnya, menyatakan bahwa seseorang yang jiwanya terganggu atau cacat dalam pertumbuhan tidak dapat dijatuhi pidana meskipun ia melakukan tindak pidana. Namun, pasal tersebut mengatur bahwa keputusan untuk menempatkan orang dengan gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa berada di tangan hakim, dan tidak serta-merta menghapus proses hukum.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP juga memberikan pedoman komprehensif terkait pengaruh kondisi mental atau fisik terhadap pertanggungjawaban pidana, dengan menyoroti Pasal 38 dan Pasal 39 sebagai landasan hukum. Pasal 38 mengatur bahwa individu yang menyandang disabilitas mental atau intelektual saat melakukan tindak pidana dapat dikenakan pengurangan pidana atau tindakan tertentu, sebagai bentuk pertimbangan terhadap kondisi mereka tanpa mengabaikan keadilan bagi korban dan masyarakat. Sementara itu, Pasal 39 memberikan pengecualian lebih jauh, di mana individu dengan disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dengan gambaran psikotik, atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan seperti perawatan di fasilitas kesehatan mental. Ketentuan ini menegaskan komitmen hukum pidana Indonesia untuk tidak hanya menghukum, tetapi juga mengadopsi pendekatan manusiawi terhadap individu dengan kebutuhan khusus.
Sebaliknya, sakit fisik sebagai alasan untuk menghalangi pemeriksaan perkara pidana tidak banyak diatur secara eksplisit. Meski demikian, Pasal 29 ayat (1) KUHAP memberikan ruang bagi gangguan fisik atau mental berat sebagai alasan untuk memperpanjang penahanan tersangka. Dengan catatan, kondisi ini harus dibuktikan melalui keterangan medis yang sah.
Hak Tersangka dan Kewajiban Penyidik
Setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, hukum acara pidana menjamin hak-haknya, termasuk hak untuk segera diperiksa. Pemeriksaan ini bertujuan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk memberikan keterangan yang menjadi bagian dari berita acara pemeriksaan (BAP). Keterangan ini, meskipun penting, hanya merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana.
Namun, tidak memberikan keterangan bukan berarti menghalangi penyelesaian perkara. Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan dirinya bersalah. Konsep ini mencerminkan prinsip “the right to remain silent” yang melindungi hak tersangka untuk tidak memberikan keterangan yang dapat merugikan dirinya.
Ketika Sakit Dijadikan Alasan
Dalam banyak kasus, alasan sakit sering digunakan tersangka untuk menunda pemeriksaan. Hukum memberikan ruang untuk menilai alasan ini melalui pemeriksaan medis. Apabila dokter menyatakan bahwa kondisi sakit tersebut bukan termasuk “gangguan fisik atau mental yang berat,” maka tersangka tetap dapat diminta memberikan keterangan. Sebaliknya, jika sakitnya memang berat dan tidak memungkinkan tersangka diperiksa, maka pemeriksaan perkara dapat dibantarkan hingga tersangka pulih.
Namun, apabila tersangka tetap menolak memberikan keterangan tanpa alasan medis yang kuat, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai penolakan terhadap haknya sendiri. Penyidik dalam hal ini tetap dapat melanjutkan penyidikan tanpa keterangan tersangka, selama alat bukti lain telah cukup untuk membangun kasus.
Dampak pada Proses Penuntutan dan Persidangan
Di tingkat penuntutan dan persidangan, alasan sakit juga sering diajukan untuk menunda pemeriksaan. Sama seperti pada tahap penyidikan, ukuran “sakit” yang dapat menghalangi proses ini harus merujuk pada “gangguan fisik atau mental yang berat.” Apabila alasan sakit tidak memenuhi kriteria ini, maka proses hukum tetap dapat dilanjutkan.
Hakim, sebagai pihak yang memimpin persidangan, memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa proses hukum tetap berjalan dengan menghormati hak-hak terdakwa, sekaligus menjamin tidak ada penyalahgunaan alasan sakit untuk menghindari pemeriksaan.
Kesimpulan: Hak, Kewajiban, dan Penyelesaian Perkara
Sakit, baik fisik maupun mental, dapat menjadi alasan yang sah untuk menunda pemeriksaan perkara pidana, tetapi hanya dalam batas yang diatur oleh hukum. Kondisi ini harus dibuktikan melalui keterangan medis yang jelas. Ketika alasan sakit tidak memenuhi syarat “gangguan fisik atau mental yang berat,” proses pemeriksaan harus tetap dilanjutkan.
Hak tersangka untuk memberikan atau menolak memberikan keterangan adalah bagian penting dari asas praduga tak bersalah. Namun, penolakan ini tidak serta-merta menghalangi penyelesaian perkara. Dengan alat bukti lain yang cukup, penyidik, penuntut umum, dan hakim tetap dapat melanjutkan proses hukum tanpa mengabaikan prinsip keadilan.
Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, untuk menyeimbangkan antara penghormatan terhadap hak tersangka dan kewajiban untuk menyelesaikan perkara secara adil dan efisien. Prinsip ini adalah inti dari sistem peradilan yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window)
- Click to share on Telegram (Opens in new window)
- Click to share on X (Opens in new window)
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window)
- Click to share on Facebook (Opens in new window)
- Click to share on Threads (Opens in new window)
- Click to print (Opens in new window)
- Click to email a link to a friend (Opens in new window)