Ketika Kritik Berhadapan dengan UU ITE

“Putusan MA No. 5712 K/Pid.Sus/2024 menegaskan bahwa kritik berbasis data bukan pencemaran nama baik jika tidak ada unsur penghinaan yang disengaja.”

Kasus hukum yang melibatkan Haris Azhar menyoroti batasan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan nama baik di era digital. Dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5712 K/Pid.Sus/2024, MA memutuskan untuk menolak kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan alasan bahwa pernyataan yang disampaikan oleh Haris Azhar merupakan kritik yang berlandaskan pada informasi yang sudah tersedia di ruang publik. MA menilai tidak terdapat unsur penghinaan yang disengaja dalam pernyataan tersebut, melainkan merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. menandai momen penting dalam penegakan hukum di Indonesia terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Latar Belakang Kasus

Haris Azhar, seorang advokat dan aktivis hak asasi manusia, diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melanggar Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (3) UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui media elektronik. Kasus ini berawal dari unggahan video di kanal YouTube miliknya yang menyoroti dugaan keterlibatan seorang pejabat dalam relasi ekonomi tertentu. Dalam unggahan tersebut, Haris Azhar menyampaikan pandangan kritis yang kemudian dilaporkan sebagai pencemaran nama baik.

Selain Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, Haris Azhar juga didakwa melanggar Pasal 14 Ayat (2) Peraturan Hukum PIdana yang mengatur tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat, dan Pasal 15 Peraturan Hukum Pidana yang mengatur penyebaran berita yang tidak pasti atau berlebihan yang dapat menimbulkan keonaran, serta Pasal 310 Ayat (1) KUHP tentang penghinaan secara lisan atau tulisan.

Pertimbangan Hakim

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menilai bahwa Haris Azhar tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum. MA mempertimbangkan bahwa pernyataan yang disampaikan Haris Azhar dalam videonya termasuk dalam bentuk kritik yang dilindungi oleh kebebasan berekspresi. Pengadilan menilai tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam unggahan tersebut.

Putusan ini mencerminkan penerapan prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E, yang menegaskan hak setiap orang untuk mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan.

Pendapat Mahkamah Agung dalam Putusan No 5712 K/Pid.Sus/2024

“Bahwa bahan yang diperbincangkan dan dikritisi tersebut sudah ada sebelumnya. Terdakwa tidak membuat sendiri bahan perbincangan yang secara khusus sengaja ditujukan untuk menjatuhkan atau mencemarkan nama baik Saksi Korban Luhut Binsar Pandjaitan. Perbincangan antara Terdakwa Haris Azhar, Fatia Maulidiyanty, dan Sdr. Owi dalam Podcast di Akun Youtube Haris Azhar tersebut dipandang sebagai kritik terhadap pejabat publik diantaranya adalah Saksi Korban,yang dipandang memiliki konflik kepentingan dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik dan pemilik bisnis tambang di Papua. Karenaitu, perbincangan tersebut tidak termasuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik.

Bahwa antara Saksi Korban dengan Terdakwa tidak pernah ada permasalahan, sebagaimana keterangan Saksi Korban yang menerangkan bahwa pada mulanya hubungan Saksi Korban dengan Terdakwa Haris Azhar baik-baik saja, dan saksi sering menjalin komunikasi dengan Terdakwa, sehingga tidak ternyata ada alasan atau motif dari Terdakwa untuk melakukan pencemaran terhadap nama baik Saksi Korban”

Implikasi Putusan

Putusan MA ini memiliki dampak signifikan terhadap penerapan UU ITE, khususnya Pasal 27 Ayat (3) yang kerap diperdebatkan karena dianggap berpotensi membatasi kebebasan berekspresi. Kasus ini memberikan preseden penting bahwa kritik yang disampaikan secara terbuka tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik jika tidak terdapat unsur penghinaan yang disengaja.

Putusan ini juga menegaskan bahwa kritik yang berlandaskan data, argumentasi, dan kepentingan publik merupakan bagian dari hak demokrasi yang dilindungi hukum. Dalam kasus ini, Haris Azhar mengutip hasil riset yang telah dipublikasikan sebelumnya oleh organisasi masyarakat sipil yang menyoroti potensi konflik kepentingan pejabat publik dalam bisnis tambang di Papua. Dengan mengacu pada data yang sudah tersedia di ruang publik, Mahkamah Agung menilai bahwa pernyataan Haris Azhar tidak mengandung unsur penghinaan yang disengaja. bagian dari hak demokrasi yang dilindungi hukum. Bagi masyarakat, putusan ini menjadi pengingat bahwa menyuarakan pendapat di ruang digital tetap memiliki batasan hukum, namun hak untuk berpendapat tetap harus dihargai.

Kesimpulan

Putusan MA No. 5712 K/Pid.Sus/2024 menegaskan bahwa kebebasan berpendapat tidak boleh diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Kasus Haris Azhar menjadi pengingat penting bagi publik. Putusan ini menegaskan pentingnya perlindungan terhadap kebebasan berpendapat, selama disampaikan dengan data yang jelas dan tanpa niat mencemarkan nama baik. penegak hukum, dan pihak-pihak yang merasa dirugikan bahwa kritik yang berlandaskan fakta dan tidak bermaksud menghina merupakan hak yang dijamin konstitusi.

Dengan putusan ini, Mahkamah Agung memberikan pesan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil tanpa mengabaikan hak dasar warga negara untuk mengkritik kebijakan atau tindakan yang dianggap merugikan kepentingan publik.

 

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading