“Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menegaskan larangan perjanjian nominee dalam kepemilikan saham, membatalkan transaksi jual-beli yang dianggap tidak sah menurut hukum Indonesia.”
Dalam perselisihan bisnis bernilai miliaran rupiah, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta akhirnya memberikan putusan atas sengketa jual-beli saham yang melibatkan dua dua pihak, seorang warga negara dan sebuah korporasi Putusan ini menjadi sorotan karena menyentuh aspek mendasar dalam transaksi saham lintas negara dan kepastian hukum bagi investor.
Latar Belakang Sengketa
Kasus ini bermula dari perjanjian jual-beli saham yang ditandatangani pada 2013. Seorang warga negara Asing menggugat korporasi Indonesia terkait transaksi kepemilikan saham di di sebuah perusahaan yang berbasis di British Virgin Islands. Perjanjian ini, yang awalnya tampak sederhana, berubah menjadi sengketa hukum ketika warga negara asing tersebut mengklaim bahwa pembayaran saham tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, pihak korporasi Indonesia itu berargumen bahwa transaksi telah selesai dengan pembayaran kepada pihak lain yang disebut sebagai pemilik sebenarnya dari perusahaan tersebut.
Perdebatan Hukum: Status Nominee dan Validitas Perjanjian
Inti dari gugatan ini adalah karena Penggugat bertindak sebagai nominee, atau pihak yang mewakili kepentingan pemilik saham sebenarnya, yang terdiri dari beberapa warga negara asing lainnya. Namun, dalam dokumen hukum yang diajukan di pengadilan, terdapat perbedaan pandangan mengenai status hukum nominee dalam transaksi saham. Penggugat mengklaim bahwa pembayaran harus diterima olehnya sebagai pihak dalam perjanjian, sedangkan korporasi Indonesia itu berpendapat bahwa pembayaran yang dilakukan langsung kepada pemilik sebenarnya sudah memenuhi kewajiban kontraktual.
Selain itu, aspek perpajakan turut memperumit perkara ini. Si Penggugat menghadapi tagihan pajak dari otoritas pajak Indonesia akibat transaksi tersebut, meskipun ia tidak menerima langsung dana dari hasil penjualan saham. Ia berargumen bahwa korporasi Indonesia itu bertanggung jawab atas pembayaran pajak ini, karena pembayaran saham dialihkan kepada pihak lain tanpa sepengetahuannya.
Keputusan Pengadilan Negeri dan Banding ke Pengadilan Tinggi
Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Penggugat dengan alasan bahwa pembayaran telah dilakukan sesuai perjanjian dan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa transaksi melanggar hukum atau prinsip keadilan kontraktual. Namun, Penggugat tidak menerima putusan tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi memeriksa kembali argumentasi kedua belah pihak, termasuk aspek formal dalam perjanjian serta validitas pembayaran yang dilakukan di luar mekanisme yang disepakati. Majelis hakim akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat dengan membatalkan perjanjian tersebut.
Pendapat PT DKI Jakarta dalam Putusan No 375/PDT/2018/PT.DKI
“Menimbang, bahwa Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal jo Pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada pokoknya menentukan bahwa perjanjian Nominee dalam kepemilikan saham dilarang, sehingga perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian secara hukum pemilik saham dari perusahaan tersebut adalah orang yang dipinjam Namanya
Menimbang, bahwa Tergugat sebenarnya telah mengetahui bahwa posisi hukum Penggugat hanya sebagai Nominee dalam kepemilikan saham Perusahaan yang dalam hukum yang berlaku di Indonesia dilarang, sehingga Penggugatlah yang secara hukum dan faktual yang melakukan perjanjian jual beli saham aquo dengan Tergugat oleh karenanya tindakan Tergugat yang melakukan pembayaran harga saham kepada 5 (lima) orang adalah merupakan bentuk kekhilafan
Menimbang, bahwa oleh karena telah terjadi kekhilafan dalam memenuhi isi perjanjian jual beli saham Perusahaan yang telah dilakukan oleh pihak Tergugat sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas maka berdasarkan ketentuan Pasal 1321 BW perjanjian jual beli saham antara Penggugat dengan Tergugat dinyatakan batal, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat”
Implikasi Putusan dan Pelajaran bagi Investor
Putusan ini menegaskan bahwa perjanjian nominee, sebagaimana diterapkan dalam kasus ini, bertentangan dengan hukum Indonesia dan tidak dapat dijadikan dasar transaksi yang sah. Perjanjian nominee dalam transaksi saham lintas negara tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia, sebagaimana dilarang dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Penanaman Modal. Sengketa ini juga menjadi pengingat bagi investor asing bahwa praktik nominee dalam kepemilikan saham di Indonesia tidak diakui secara hukum dan dapat membawa konsekuensi hukum yang serius. Dengan putusan ini, kepastian hukum bagi perusahaan dan investor dalam transaksi jual-beli saham semakin ditegaskan, meskipun masih menyisakan ruang bagi perdebatan hukum di masa depan.
Share this:
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on LinkedIn (Opens in new window) LinkedIn
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on Threads (Opens in new window) Threads
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to email a link to a friend (Opens in new window) Email