Dari Penganiayaan ke Perdamaian: Putusan Pengadilan yang Mengedepankan Keseimbangan Hukum

Putusan Pengadilan Negeri Larantuka menunjukkan keseimbangan antara penghukuman dan pemulihan dalam kasus penganiayaan dengan pendekatan keadilan restoratif.”

Latar Belakang Kasus

Suatu kasus penganiayaan yang terjadi di Larantuka telah menarik perhatian publik. Kejadian yang terjadi pada 10 November 2024 ini bermula ketika terdakwa, yang dalam kondisi mabuk, diduga melakukan tindakan kekerasan terhadap seorang perempuan. Insiden itu terjadi di jalan raya depan sebuah pangkas rambut di Kelurahan Postoh, Larantuka, ketika terdakwa menghadang korban yang sedang melintas dengan sepeda motor dan menendangnya hingga mengalami luka.

Fakta Persidangan dan Pertimbangan Hakim

Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan, yang ancaman hukumannya maksimal dua tahun delapan bulan penjara. Berdasarkan visum et repertum yang menunjukkan adanya bengkak di pergelangan kaki korban, serta kesaksian yang menguatkan kejadian tersebut, Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan.

Namun, pertimbangan hukum tidak hanya didasarkan pada fakta kejadian semata. Dalam proses persidangan, Majelis Hakim mencermati adanya upaya perdamaian antara terdakwa dan korban. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, kasus ini memenuhi kriteria untuk pendekatan hukum yang lebih berorientasi pada pemulihan daripada semata-mata hukuman.

Majelis Hakim menilai bahwa korban telah memberikan maaf dan kedua belah pihak telah menyepakati penyelesaian perkara secara kekeluargaan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan tertanggal 12 November 2024, yang menunjukkan bahwa korban dan keluarganya menerima permohonan maaf terdakwa dan mencabut laporan kepolisian. Oleh karena itu, pengadilan mempertimbangkan keadilan restoratif sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan.

Putusan Pengadilan dan Implikasinya

Majelis Hakim akhirnya menjatuhkan pidana penjara selama tujuh bulan kepada terdakwa. Namun, dengan mempertimbangkan prinsip keadilan restoratif, hukuman tersebut tidak harus dijalani kecuali terdakwa melakukan tindak pidana lain dalam masa percobaan selama enam bulan. Selain itu, pengadilan memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan setelah putusan diucapkan, dengan masa penahanan sebelumnya dikurangkan dari hukuman yang dijatuhkan.

Terdakwa juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp3.000,00 sebagai bentuk tanggung jawabnya atas tindakan yang telah dilakukan.

Pendapat PN Larantuka dalam Putusan No 6/Pid.B/2025/PNLrt

“Menimbang, bahwa perkara ini oleh Penuntut Umum didakwa dengan dakwaan tunggal berdasarkan Pasal 351 Ayat (1) KUHP yang ancaman pidana adalah pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kemudian berdasarkan keterangan Saksi Korban, sesuai juga dengan Surat Pernyataan tertanggal 12 November 2024, yang dibenarkan oleh Terdakwa, bahwa pada tanggal 12 November 2024 telah terjadi perdamaian antara pihak Saksi Korban dan Terdakwa, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan dan mencabut laporan terhadap Terdakwa. Hal ini menurut Majelis Hakim telah memenuhi syarat penerapan keadilan restoratif dalam perkara ini

Menimbang, bahwa Saksi Korban di muka persidangan juga menyampaikan bahwa Saksi Korban sudah iklas memaafkan Terdakwa, sebab Saksi Korban merasa kasihan dengan Terdakwa yang sudah ditahan selama ini, dan Saksi Korban yang saat ini dalam kondisi hamil ingin berbuat kebaikan, Saksi Korban ingin anaknya suatu saat nanti menjadi orang yang baik dan mampu memaafkan orang lain..”

Signifikansi Putusan dalam Sistem Peradilan

Putusan ini menjadi preseden penting dalam penerapan keadilan restoratif di Indonesia. Dengan tidak serta-merta menjatuhkan hukuman penjara, pengadilan menunjukkan bahwa sistem hukum harus mampu menyeimbangkan antara sanksi pidana dan pemulihan sosial. Keputusan ini juga memberikan sinyal kuat bahwa tindakan penganiayaan tetap memiliki konsekuensi hukum, tetapi dapat diselesaikan dengan pendekatan yang lebih manusiawi jika terdapat faktor-faktor yang meringankan, seperti kesepakatan damai antara kedua belah pihak.

Kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya kontrol diri dalam konsumsi alkohol dan dampak dari kekerasan yang dilakukan di ruang publik. Meskipun korban telah memaafkan, putusan ini tetap memastikan bahwa pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya dan memberikan efek jera bagi masyarakat luas.

Kesimpulan

Putusan Pengadilan Negeri Larantuka dalam kasus ini merefleksikan keseimbangan antara penghukuman dan pemulihan. Dengan pendekatan keadilan restoratif, pengadilan tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mempertimbangkan pemulihan hubungan sosial antara korban dan pelaku. Kasus ini dapat menjadi acuan bagi penanganan perkara serupa di masa depan, di mana hukum tidak hanya menghukum tetapi juga memberikan peluang rehabilitasi bagi pelaku yang benar-benar menunjukkan itikad baik untuk berubah.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading