Antara Pisah Rumah dan (Kemungkinan) Tuduhan Penelantaran: Ketika Perempuan (Mungkin) Dihukum karena Ingin Bercerai

“Dalam upayanya keluar dari pernikahan yang retak, seorang perempuan bisa saja berakhir di kursi pesakitan. SEMA No. 3 Tahun 2023 yang dimaksudkan untuk menertibkan perceraian justru membuka celah kriminalisasi baru melalui pasal penelantaran rumah tangga dalam UU PKDRT.”

Di Indonesia, keputusan untuk mengakhiri pernikahan bukan hal sederhana. Perempuan yang ingin bercerai kerap menghadapi jalan berliku, baik secara sosial maupun hukum. Ironisnya, ketika seorang istri mencoba mengambil langkah tegas meninggalkan pernikahan yang penuh perselisihan, sistem hukum kadang justru berbalik menuduhnya sebagai pelaku tindak pidana. Ini bukan semata persoalan ketimpangan sosial, tapi juga efek dari irisan dua rezim hukum yang saling bertabrakan: hukum perceraian dan hukum pidana keluarga.

Ketatnya Alasan Cerai dan Syarat Pisah Rumah

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 membatasi alasan perceraian hanya pada enam kondisi. Dari semua itu, “perselisihan terus-menerus” menjadi yang paling sering digunakan karena sifatnya yang subjektif dan tidak membutuhkan bukti kekerasan atau pelanggaran hukum lainnya.

Namun, Mahkamah Agung memandang bahwa alasan ini terlalu sering digunakan tanpa standar pembuktian yang memadai. Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2023, MA menetapkan syarat tambahan: agar gugatan cerai karena perselisihan terus-menerus dikabulkan, pasangan harus sudah pisah tempat tinggal selama sekurang-kurangnya enam bulan. Pengecualian diberikan hanya jika ada bukti kekerasan dalam rumah tangga.

Kebijakan ini membawa kejelasan dalam praktik pengadilan, namun juga menimbulkan dilema baru: bagaimana jika istri tidak tahan tinggal bersama suami dan memilih keluar rumah untuk memenuhi syarat itu?

Celah Kriminalisasi: Ketika Pisah Rumah Diartikan sebagai Penelantaran

UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) melarang penelantaran terhadap anggota keluarga. Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, dan Pasal 49 huruf (a) mengancam pelanggar dengan pidana hingga tiga tahun.

Celah muncul ketika pasal ini digunakan secara balik terhadap perempuan. Seorang istri yang keluar dari rumah demi memenuhi syarat perceraian, tapi masih secara hukum berstatus istri, bisa dituduh menelantarkan suami atau anak. Tuduhan ini bisa diajukan oleh suami yang menolak diceraikan, dan digunakan sebagai senjata untuk “menggempur balik” gugatan istri. Celah hukum ini telah nyata dimanfaatkan dalam sejumlah perkara yang melibatkan perempuan pencari keadilan.

Perempuan Diapit antara Hukum Perdata dan Hukum Pidana

Hukum perdata meminta bukti konkret bahwa rumah tangga telah hancur, dan salah satunya adalah pisah rumah selama enam bulan. Namun hukum pidana justru bisa mengkriminalisasi pisah rumah itu jika ditafsirkan sebagai bentuk penelantaran. Di sinilah letak absurditas yang dihadapi perempuan pencari keadilan: ketika satu norma mendorong mereka untuk keluar, norma lain justru menghukum langkah tersebut.

Situasi ini menciptakan ruang abu-abu yang berbahaya, di mana perempuan dapat dikriminalisasi hanya karena ingin bebas dari relasi yang tidak sehat. Ia harus bertahan dalam pernikahan yang tidak harmonis, atau keluar dengan risiko dijerat pasal penelantaran.

Mencari Keseimbangan antara Perlindungan dan Ketegasan

Niat Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 3 Tahun 2023 patut diapresiasi. Aturan ini hadir untuk menertibkan proses cerai agar tidak disalahgunakan. Namun, penerapannya perlu disertai dengan kesadaran bahwa realitas sosial tidak selalu sehitam-putih peraturan. Tidak semua konflik rumah tangga bisa menunggu enam bulan untuk diselesaikan. Tidak semua perempuan punya tempat aman untuk “pisah rumah” tanpa risiko digugat balik.

Di sinilah pentingnya pembaruan hukum yang lebih holistik—yang tak hanya berfokus pada ketertiban administratif, tetapi juga memperhatikan kerentanan nyata yang dihadapi perempuan. Mekanisme perlindungan terhadap pihak yang berniat bercerai dengan itikad baik harus diperkuat. Dan tafsir atas pasal penelantaran harus dikembalikan pada semangat perlindungan, bukan digunakan sebagai alat balas dendam hukum.

chayra law center

Adalah Consulting Firm di Jakarta dengan spesialisasi pada bidang hukum pidana, hukum konstitusi, hukum perdata dan perdagangan.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat mengakses website kami di https://s.id/lawcenter atau melalui email di chayralawcenter@gmail.com

Share:

More Posts

Berlangganan via Email

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Discover more from Chayra Law Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading